Hari itu, sepotong episode masa lalu kembali hadir dalam benak Aisyah ra. Ketika seorang sahabat memintanya berkisah tentang apa yang paling berkesan baginya dari Rasulullah saw. Aisyah tak kuasa menahan tangis. Air matanya mengalir deras. Lalu ia berkata, "Yang manakah dari sifat Rasulullah yang tidak mengesankan? Pada suatu malam beliau datang kepadaku. Lalu ia berbaring bersamaku di tempat tidur. Hingga kulitnya menyentuh kulitku. Tiba-tiba beliau berkata, ”Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Rabb-ku." Aku berkata, "Sungguh aku senang di dekat engkau, tetapi aku mengutamakan keinginan engkau (untuk beribadah)."
Maka, Rasulullah pun berdiri ke bak air, seraya berwudhu dengan tidak banyak menuangkan air. Kemudian berdiri shalat. Lalu menangis. Air matanya mengalir di dadanya. Kemudian beliau ruku’ dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat kepala dan menangis. Tidak henti-hentinya beliau melakukan itu hingga Bilal mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang menjadikan engkau menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa engkau yang lalu dan yang akan datang?” Rasulullah dengan lembut berkata, “Apakah tidak selayaknya jika aku menjadi hamba Allah yang banyak bersyukur?”
Begitulah. Kisah Aisyah di atas, tidak sekadar ungkapan haru biru dan kerinduan seorang isteri. Yang bertahun-tahun menemani suami tercintanya. Siang dan malam baginya adalah hari-hari perjuangan bersama Rasulullah. Segalanya begitu indah, meski kadang terasa melelahkan. Itu memang kisah tentang keluarga Rasulullah yang mulia. Tentang keagungan pribadi Rasul. Juga tentang kebahagiaan Aisyah mengisi hidupnya bersama manusia termulia, Rasulullah saw. Tetapi lebih dari itu, kisah Aisyah, adalah juga serangkaian makna-makna tentang bagaimana Rasulullah menyikapi masa lalu dan masa yang akan datang. Sebuah pelajaran sangat mahal bagi siapapun yang ingin mengikuti peri hidupnya dan meniti jalan kemuliaannya.
Kata kuncinya ada pada pertanyaan Aisyah, yang mencoba menghubungkan tangis-tangis deras Rasulullah dengan ampunan Allah atas dosa Rasulullah yang lalu dan yang akan datang. Mengapa engkau wahai Rasulullah mesti menangis, padahal masa lalu engkau telah ditutup dengan ampunan Allah. Padahal masa depan engkau telah diselimuti dengan ampunan Allah? Begitu kira-kira arti pertanyaan itu.
Tangis-tangis Rasulullah adalah cermin yang bening bagi kita. Tempat kita menatap jujur bayang-bayang wajah kita sendiri. Bila Rasulullah yang dosanya sudah diampuni masih terus menangis kepada Allah. Rasulullah yang masa lalunya telah bersih dan masa depannya dijamin cemerlang, masih menghadap Allah dalam tangis-tangis panjang. Bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan diri kita yang jauh dari sempurna? Bahkan untuk mendekat ke titik sempurna pun masih sangat jauh? Bagairnana dengan kita, yang hari-hari-nya berlalu penuh bercak-bercak hitam?
Tak ada yang menolak kenyataan, betapa kita sangat perlu untuk banyak menambal dan mereparasi masa lalu kita. Kesalahan masa lalu itu ibarat utang. Bila kita tidak membayarnya, atau Allah tidak mengampuninya, maka ia akan dibayar dengan hukuman, setidaknya di akhirat kelak. Cara membayar utang itu ialah dengan memohon ampun kepada Allah dan dengan memperbanyak beramal shalih. Itu akan menjadi penghapus sekaligus pembayarnya. Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.”(QS. Hud: 114). Sementara Rasulullah saw juga menjelaskan melalui sabdanya, ”Bertakwalah kamu di manapun kamu berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia secara baik.”
Membayar keburukan dengan kebaikan, ibarat melapisi sisi-sisi gelap kita dengan ornamen hidup dan hiasan diri yang indah. Atau seperti hujan yang turun mendinginkan bumi yang panas. Atau seperti pewarna dinding yang keindahannya melupakan keras dan kelamnya pasir serta bebatuan di belakangnya. Seperti itulah kebaikan menghapus keburukan. Seperti itu pula ampunan Allah melebur kesalahan hamba-Nya.
Selain itu, tangis-tangis panjang Rasulullah ternyata juga tangis penghambaan sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Allah. Bahkan itu dilakukan dalam ibadah sunnah yang sangat tinggi nilainya, yaitu shalat malam. Itu sendiri juga bentuk lain dari rasa syukur. Rasulullah ingin menjadi hamba yang bersyukur, atas karunia Allah yang begitu banyak. Segala anugerah Allah -termasuk ampunan itu tidak sedikitpun menjadikan Rasulullah merasa cukup. Ia masih ingin menangis dalam jenak-jenak penghambaannya yang hening kepada Allah.
Sikap Rasulullah tersebut membekaskan pelajaran yang begitu berharga bagi kita. Bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak terjadi kecuali dengan izin Allah. Ini menjadikan kita harus memahami dimensi lain dari tangis itu. Ia adalah tangisan tauhid. Sebuah kepasrahan, keyakinan, penyerahan diri sekaligus rasa terima kasih kepada Allah, Dzat yang telah mengangkatnya menjadi manusia pilihan. Allah berkehendak, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.
Seperti itu pula semestinya cara kita menyikapi masa lalu. Ada sisi yang harus kita benahi. Tetapi tetap saja ada sisi lain yang harus kita syukuri. Begitu banyak yang telah Allah berikan kepada kita. Kita lahir dan ada, tumbuh dan besar menjadi dewasa, bisa merasakan berbagai hal dengan hati, pikiran, perasaan, juga dengan panca indera kita. Bila bergunung syukur kita haturkan, sejujurnya tak akan pernah sebanding dengan nikmat-nikmat besar itu.
Allah SWT berfirman, ”Dan Dia (Allah) telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari nikmat Allah.” (QS. Ibrahim: 34).
Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman, ”Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah datangnya, dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. (QS. An-Nahl: 53).
Tetapi kita bukan manusia pilihan. Terlalu banyak kita berbuat salah. Terlalu sering kita bertindak ceroboh. Karenanya, selain mengambil pelajaran pada dimensi syukur, sekali lagi, tangis-tangis Rasulullah harus menjadi cermin bagi dimensi lain: dimensi perbaikan. Bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Masa lalu yang baik harus kita jadikan tenaga pendorong untuk terus berlangsungnya kebaikan itu. Sementara masa lalu yang buruk harus kita taburi bunga-bunga kebaikan, pada sisa-sisa umur dan nafas kita.
Setiap kita pasti punya masa lalu, hitam maupun putih, baik maupun buruk, gelap maupun terang. Apa yang sudah terjadi tidak mungkin diubah. Apa yang telah menjadi masa lalu, tidak mungkin dihadirkan kembali dalam lembaran hidup yang baru. Karena hidup tak lebih ibarat rantai panjang. Setiap mata rantainya hanya hadir sekali dalam seluruh rentang usia kita. Waktu dan sejarah hidup yang telah pergi tidak akan kembali, kecuali sebuah kemiripan baru yang berulang dan tidak akan sama persis.
Karenanya, apa yang telah lewat dari seluruh perjalanan hidup kita, harus kita pandang dengan arif dan bijak. Hidup ini terus berjalan, di atas rel perjuangan dan jalur kompetisi yang keras. Masa lalu tidak boleh menghanyutkan diri kita. Siapa yang hari kemarinnya lebih buruk, semestinya tidak putus asa dan tenggelam dalam kegalauan duka. Sementara, siapa yang hari kemarinnya jauh lebih baik dari hari ini, jangan sampai hanya bisa bernostalgia dengan masa lalu, tanpa mau bergerak dan mencoba memperbaiki diri.
Kita tidak boleh putus asa dari rahmat Allah. Setiap kali pagi datang, hal pertama yang harus kita pancangkan adalah deklarasi kebaikan. Bahwa hari ini kita harus lebih baik dari hari kemarin. Maka tidak ada kata yang lebih penting dari ’bangkit’. Ya. Kita harus bangun, bergegas, dan bersegera membayar kesalahan-kesalahan dengan amal-amal kebajikan. Menjadi kewajiban orang-orang yang jauh dari sempurna seperti kita untuk menebus kesalahan-kesalahan masa lalu dengan tangis dan juga amal kebaikan.
Hidup ini pasti berakhir. Sepanjang apapun masa lalu kita. Dalam sisa umur yang entah masih berapa, tiada yang lebih indah dari merasakan manisnya iman, dalam paduan rasa syukur dan permohonan ampunan. Seperti tangis-tangis Rasulullah itu. Seperti indahnya kenangan Aisyah itu. Wallahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar