Karena, ajaran Islam tidak menyetujui penyekatan antara agama dan politik.
Islam ingin melaksanakan politik selaras dengan tuntunan yang telah diberikan agama dan menggunakan negara sebagai sarana melayani Allah. Islam menggunakan kekuatan politik untuk mere-formasi masyarakat dan tidak membiarkan masyarakat melorot ke dalam "tempat terakhir yang paling buruk".
Hal ini menunjukkan bahwa reformasi yang dike-hendaki Islam tidak dapat dilaksanakan melalui khutbah--khutbah saja. Kekuatan politik juga penting untuk mencapainya. Inilah cara pendekatan Islam. Dan konsekuensi logis dari cara ini adalah bahwa negara harus dibentuk berdasarkan pola-pola Islami.
Inilah ketentuan keimanan Islam dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Konsep Barat yang menerapkan pemisahan agama dari politik (sekulerisme) adalah asing bagi Islam, dan menganut paham ini sama artinya pembangkangan hakiki dari konsep politik Islam.
Apakah Islam menginginkan agar Negara Islam ditegakkan? Pada paruh tahun 80-an pernah muncul polemik di sekitar pandangan bahwa di dalam Al-Qur'an tidak ada istilah Negara Islam.
Dr. M. Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah adalah yang pertama-tama mengangkat masalah tersebut. Dan 18 tahun kemudian, 1998, Amien Rais menjadi pemimpin Partai Amanat Nasional setelah mengundurkan diri dari kepemimpinan Muhammadiyah.
Sikap dan pemikiran politik Amien Rais sekarang, agaknya merupakan kelanjutan dari pernyataannya itu. Artinya, pada era reformasi sekarang ini, Amien Rais menemukan momentum yang tepat untuk melaksanakan gagasannya yang tidak menghendaki berdirinya negara Islam. Melalui PAN (Partai Amanat Nasional), sebuah partai baru yang merupakan kumpulan manusia Indonesia yang berasal dari berbagai keyakinan, pemikiran, latar belakang etnis, suku, agama dan gender. Partai ini menganut prinsip non sektarian dan nondiskriminatif (Majalah Ummat, 12 Agustus 1998).
Apakah Islam menginginkan agar negara Islam ditegakkan? Sudah pasti Islam menginginkannya. Sebab missi Islam sangat jelas. Islam menghendaki, agar apa yang dipandang baik harus terjadi dan dilaksanakan. Dan apa yang dipandang buruk harus lenyap dan dihindari. Hal itu tidak mungkin bisa terpenuhi selama ummat Islam berada di bawah cengkraman penguasa di sebuah negara yang tidak menghendaki berlakunya syari'at Islam.
Adanya pandangan, bahwa kaum muslimin bisa saja membangun masyarakat yang Islami di dalam negara yang bukan negara Islam, seperti slogan salah satu partai Islam: "Kita menghendaki negara yang Islami bukan negara Islam", hanyalah angan-angan, ibarat membangun rumah laba-laba, atau bagai membangun runah di atas lumpur. Hal ini harus disadari sepenuhnya oleh tokoh-tokoh organisasi Islam.
Bahwa mengharapkan terlaksananya ajaran Islam secara kaffah di dalam negara yang menggunakan sistem non Islam adalah sesuatu yang absurd.
- Bagaimanakah gambaran sebuah negara yang Islami di dalam negara yang bukan negara Islam?
- Apakah ada contohnya di zaman Rasulullah, para khalifah atau di zaman kita sekarang ini?
Dapatkah konsep semacam ini direalisasikan?
Kenyataannya, selama bertahun-tahun di bawah rezim Soekarno, kemudian 32 tahun berada di bawah rezim Soeharto, kaum muslimin bagai menanam pohon di pekarangan milik orang lain: hanya mengerjakan program yang dibuat pihak lain.
Dan orang lain itu adalah mereka yang tidak menghendaki berlakunya syari'at Islam. Di era reformasi ini, apakah umat Islam tidak berfikir dan menyusun program, bagimana membangun Indonesia baru yang berlandaskan Islam?
Apabila tokoh-tokoh Islam kini belum juga menyadari kenyataan ini, maka hakekatnya merekalah sesungguhnya yang ikut mempercepat missi de-Islamisasi dan penyempitan terhadap ruang gerak Islam di negeri ini.
Tanpa adanya negara dan kekuasaan Islam, bagaimana kita dapat merealisasikan firman Allah:
"Dan katakanlah:Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap". (Al-Isra',17:81).
Adanya kewajiban umat Islam untuk mendirikan Negara Islam, telah dibahas secara panjang lebar oleh Prof. Dr. M. Yusuf Musa, MA dalam bukunya "Nidhamul Hukmi fil Islam".
Terhadap pertanyaan, apakah Islam mewajibkan berdirinya Negara Islam, Dr. M. Yusuf Musa menjawab: "Islam telah membawa ketentuan syari'at yang menjadi tuntunan otomatis bagi kepentingan terwujudnya satu ummat dan negara berdasarkan prinsip-prinsip yang rasional dan memenuhi kebutuhan masyarakat manapun pada setiap zaman dan tempat."
Ciri khusus dari dienul Islam ialah, missinya yang bersifat abadi dan universal, missi yang Allah jadikan sebagai penutup seluruh missi Ilahiyah kepada manusia. Karenanya, Islam merupakan agama universal mencakup semua manusia yang berbeda kebangsaan, golongan dan warna kulitnya, sampai saatnya jagad ini diwarisi oleh Allah (kiamat).
Yusuf Musa selanjutnya mengatakan : "Memang bukanlah suatu keharusan untuk mengakui bahwa bangsa Arab Islam dahulu, sekalipun pada kurun awalnya telah ada sebuah negara yang melaksanakan dan memperhatikan serta mengurus kepentingan ummat sesuai dengan syari'at Allah dan rasul-Nya. Dan memang, tidak kita dapati secara definitif di dalam Al-Qur'an dan sunnah yang shahih kaedah-kaedah umum yang menjadi landasan tatanan pemerintahan dalam Islam..." "…Akan tetapi dengan mengambil kesimpulan dari perilaku Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah yang telah menjadikan negeri itu tanah air bagi mereka untuk selamanya, maka menjadi sempurnalah langkah bangsa Arab dan kaum muslimin dalam menegakkan sebuah negara yang memiliki segala unsur dan pilar-pilarnya, sebuah negara yang oleh Al-Qur'an dan sunnah Rasul diisyaratkan kewajiban untuk menegakkannya. Dan hal ini sesuai dengan definisi tata negara tentang negara itu sendiri.
Sebuah negara yang memiliki pemimpin yang dipatuhi oleh seluruh kaum muslimin yang berbeda asal-usul, bangsa, dan warna kulitnya". (Hal. 24-26). Islam mendidik manusia supaya bersih jiwanya, sehat pikirannya, cerdas akalnya, luas wawasan ilmunya dan kuat jasmaninya, "Basthatam fil ilmi wal jismi".
Tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi tanpa adanya sebuah negara dan pemerintahan yang eksistensinya tegak di atas dasar-dasar Islam? Jawaban bagi pertanyaan di atas adalah, Islam yang agung telah mewajibkan kepada para pemeluknya untuk menjadi pemimpin di negaranya dan penguasa di bumi manapun mereka tinggal. Mereka harus mendakwahkan Islam, mengajak orang lain untuk masuk ke dalam Islam, hidup menurut ajaran al-Qur'an dan merasa tenang di bawah naungan petunjuk-Nya.
Ummat muslim sesungguhnya memiliki potensi untuk memimpin bangsa dan ummat ini, asalkan mereka tetap melangkah dengan mantap menuju tujuan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, dan bukan tujuan yang ditetapkan manusia berdasarkan hawa nafsunya. Bahwa ummat Islam harus memiliki negara, tempat atau wadah bagi dilaksanakannya syari'at yang mustahil dilakukan di dalam sebuah negara yang bukan negara Islam, harus ditumbuhkan ke dalam hati setiap orang yang mengaku dirinya muslim.
Untuk selanjutnya, ummat Islam di seluruh dunia berjuang mengembalikan sistem kekhalifahan yang telah dihancurkan oleh musuh-musuhnya.
Negara Islam hanyalah basis awal untuk mencapai tujuan yang lebih spesifik dan mendunia, yaitu tegaknya Khilafah Islamiyah.
Dalam pengertian inilah barangkali, yang menyebabkan Syarikat Islam (SI) di bawah komando HOS Cokroaminoto memilih jalan non kooperatif dan dengan tegar menjalankan politik hijrah sebagai strategi perjuangannya sejak tahun 1923.
Dan akibat paling menakjubkan dari sepak terjang tokoh ini, khususnya bagi regenerasi Islam adalah lahirnya kekuatan melawan imperalisme dan kolonialisme. Sikap yang ditunjukkannya seperti yang kemudian tertuang di dalam anggaran dasar partai adalah berjuang, "Menuju Kemerdekaan Kebang-saan Berdasarkan Agama Islam."
Tidaklah mengherankan, jika kemudian prinsip demikian itu mempengaruhi paradigma berpikir, pandangan hidup maupun perilaku politik SM Kartosuwiryo, mengingat bahwa dia adalah murid, sekretaris pribadi serta pengagum politik Islamisme (Islam sebagai ideologi) HOS Cokroaminoto.
0 komentar:
Posting Komentar