Selasa, 30 Desember 2008

Aqidah Tauhid - An Introduction (2)

bismillah..

Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa sumber dari tauhid adalah kalimat thayyibah, yaitu kalimat LaailaaHa illa 4jj1 wa Muhammadar-Rasuulu 4jj1.

Dalam Q.S. 14:24-25, Allah menyampaikan perumpaan tentang aqidah yang kuat, yang bersumber dari kalimat thayyibah, ibarat pohon yang akarnya kuat sehingga batangnya menjulang tinggi dan menghasilkan buah-buahan, sbb.

"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.

Dalam ayat ke 27-nya, Allah berfirman:
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki."

Setiap amal ibadah dalam Islam terdiri dari 3 aspek, yaitu aqidah, syariat dan akhlak. Misalnya ibadah shalat, aspek aqidahnya yaitu kita meyakini bahwa shalat adalah perintah Allah yang tercantum dalam Al Quran, sedangkan aspek syariatnya yaitu kita shalat dengan mencontoh kepada Nabi Muhammad dan aspek akhlaknya yaitu kita berpakaian yang bersih dan wangi karena hendak menghadap Allah. Contoh yang lain misalnya menyembelih hewan, aspek aqidahnya kita meyakini bahwa menyembelih hewan harus dengan asma Allah sesuai Q.S. 6:121, aspek syariatnya yaitu bahwa sesuai contoh dari Nabi Muhammad, menyembelih hewan adalah pada lehernya dan aspek akhlaknya yaitu menggunakan pisau yang tajam. Setiap amal ibadah apapun pasti terdiri dari ketiga aspek ini.

Demikian sempurnanya perumpamaan Allah dalam Q.S. 14:24-25 di atas. Akar pohon yang teguh melambangkan aqidah yang kuat yang tersimpan dalam hati. Batang pohon melambangkan syariat dan buah-buahan melambangkan akhlak. Aqidah merupakan keyakinan yang menghujam di dalam hati. Agar orang lain mengetahui tentang akidah seorang manusia, maka manusia itu harus mengikrarkannya lewat lisan (mengucapkan syahadat) dan mewujudkannya dengan pelaksanaan syariat dan akhlak. Dalam Q.S. 36:25 Allah memberi gambaran tentang kewajiban orang yang beriman/beraqidah untuk memperdengarkan keimanannya kepada orang lain.

"Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu, maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku." (Q.S. 36:25)
dan perkataan Rasulullah: "Iman itu dibenarkan oleh hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan jasad".

Dari konteks Q.S. 36:25, orang yang beriman harus memperdengarkan keimanannya kepada orang yang menyerunya untuk beriman, yang pastinya adalah orang yang beriman juga, yaitu para Nabi dan Rasul serta penerusnya. Sedangkan kepada orang yang ingkar, manusia tidak wajib untuk memperdengarkan keimanannya. Bahkan Amr bin Yasir ketika disiksa, dipaksa untuk menyatakan kalimat syirik dan beliau terpaksa mengucapkannya, kata Nabi Muhammad Amr bin Yasir tidak berdosa karena sebelumnya telah berikrar di hadapan Nabi dan Amr bin Yasir mengatakan kepada Nabi bahwa dia terpaksa mengucapkannya, artinya hati Amr bin Yasir tetap beriman. Perbuatan ini sesuai dengan perintah Allah melalui kisah Ashabul Kahfi dalam Q.S. 18:19 dan kisah umat Nabi Musa yang menyembunyikan keimanannya. (Q.S. 40:28)

"...Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun."(Q.S. 18:19)

"Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Firaun yang menyembunyikan imannya berkata:... " (Q.S. 40:28)

Melalui kisah Ashabul kahfi dan umat Nabi Musa ini Allah mengajarkan kepada kaum muslim bahwa jika tidak memungkinkan untuk beriman secara terang-terangkan, umat muslim diperintahkan untuk menyembunyikan keimanannya karena dikhawatirkan akan diganggu oleh orang-orang yang benci.

Menjadi jelaslah bahwa walaupun aqidah itu letaknya di hati, orang yang beriman wajib menyatakan keimanannya kepada Rasul atau penerusnya dan diperkuat pula dengan hadits Rasulullah tentang Rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat,shaum dan haji bagi yang mampu. Artinya memperdengarkan keimanan dengan mengikrarkan syahadat merupakan rukun seseorang menjadi muslim.

Setelah orang beriman mengikrarkan syahadat maka baginya terikat janji untuk memproses dirinya agar mengamalkan syariat islam secara bertahap dan bersama-sama dengan masyarakat muslim yang lain. Setelah syariat itu terwujud dalam kehidupan sehari-harinya dan perbuatanya dalam beribadah tersebut tidak lagi dibuat-buat/dipaksa-paksa maka jadilah dia seorang yang berakhlak islam. Ibarat pohon yang akarnya menghujam ke tanah, apabila batangnya ditebang tentu pohon tersebut akan kembali berkembang menjadi pohon yang besar dan akan berbuah sebagaimana mestinya. Sebaliknya pohon yang akarnya buruk, walaupun pada awalnya batangnya kuat, perlahan-lahan pohon tersebut akan tumbang dan mati. Seperti dalam Q.S. 14:26 berikut ini:

"Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun."

Terakhir firman Allah tentang masyarakat yang beriman yang diperumpamakan dengan tanaman yang dari akarnya mengeluarkan tunas, lalu tegak batangnya dan menyenangkan hati penanam-penanamnya tertuang dalam Q.S. 48:29 sbb.

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar."

Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada kita untuk beriman, beraqidah tauhid dengan semurni-murni dan setulus-tulusnya tauhid dan menganugerahikan keberanian dan jalan kepada kita untuk menyatakan keimanan kita kepada orang yang berhak sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah dalam Al Quran dan As Sunah.

source: http://aqidahtauhid.blogspot.com/2007/06/aqidah-tauhid-introduction-2.html

Aqidah Tauhid - An Introduction (1)

bismillah..

Selain rukun iman yang 6, pembahasan keyakinan atau keimanan dalam Islam dapat kita peroleh dengan memahami aqidah tauhid. Aqidah tauhid merupakan dasar keyakinan seorang muslim yang berfungsi sebagai syarat diterimanya ibadah kepada 4jj1 SWT. Dalam Islam, syarat diterimanya ibadah kepada 4jji ada 3, yaitu:
  1. 1. Mabda (dasarnya) adalah aqidah tauhid
  2. 2. Manhaj (metodenya) adalah syariat Nabi Muhammad
  3. 3. Ghoyah (tujuannya) adalah mendapatkan ridlo 4jjl di dunia dan diakhirat
Aqidah tauhid sebagai syarat diterimanya ibadah berarti walaupun metode dan tujuannya benar tetapi tidak dilandasi aqidah tauhid maka ibadahnya sia-sia.

Aqidah berasal dari kata bahasa Arab aqad, yang artinya perjanjian, bisa juga berarti ikatan. Sedangkan tauhid merupakan istilah Islam yang artinya ilmu yang menetapkan keyakinan-keyakinan yang diambil dari dalil-dalil yang meyakinkan, yaitu menunggalkan 4jji sebagai Rabb (Pencipta dan Pengatur),Malik (Penguasa) dan Ilah yang disembah, ditaati dan dicintai serta membenarkan ke-Wahdaniyat-an(keesaan)-Nya dalam Dzat, Sifat dan Af'al. Lawan kata dari tauhid adalah syirik, yang artinya menyekutukan (menduakan, men-tigakan, dst) 4jj1 sebagai Rabb,Malik dan Ilah atau menolak ke-Wahdaniyat-an-Nya dalam Dzat, Sifat dan Af'al.

Karena aqidah tauhid merupakan keterikatan seorang manusia kepada 4jj1 SWT yang lahir dari perjanjian yang kokoh dan kuat, tidak main-main dan diazamkan, yang menuntut untuk dipenuhi, dipelihara dan hanya ditujukan kepada 4jji sajalah, maka sumber ilmu aqidah harus berasal dari 4jji, yaitu Al Quran. Dari ayat-ayat Al Quran lah kita bisa mengenal 4jj1 dan apa konsekuensi seseorang yang beraqidah tauhid. Ilmu aqidah tidak boleh berasal dari filsafat, karena filsafat merupakan hasil pikiran (prasangka) manusia yang karena keterbatasan akal tidak akan mungkin mencapai kebenaran.

"Dia (4jj1) mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (termasuk pengetahuan tentang-Nya)" (Q.S. 96:5)

"Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan 4jj1 semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain 4jj1, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga."(Q.S. 10:66)

"Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya 4jj1 Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain 4jj1, akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Rabb semesta alam."(Q.S. 10:36-37)

"Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta."(Q.S.6:148)

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)."(Q.S. 6:116)

"Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka."(Q.S. 53:23)

"Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran."(Q.S. 53:28)

"Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu."(Q.S. 2:147)

Sumber tauhid adalah kalimat thayyibah yang berbunyi :
LaailaaHa illa 4jj1 wa Muhammadar-Rasuulu 4jj1
yang secara sederhana diterjemahkan dengan tiada ilah selain 4jj1 dan Nabi Muhammad adalah utusan 4jj1
Kalimat LaailaaHa illa 4jj1 merupakan pernyataan tauhid yang disampaikan setiap Nabi dan Rasul 4jj1. Ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan tentang tauhid, sumber tauhid dan lawannya syirik dapat ditemukan pada ayat-ayat sbb.
Q.S. 2:22,255,256;
Q.S. 3:2,18,64;
Q.S. 4:51,60,87;
Q.S. 5:60,73;
Q.S. 6:19,56,71,102,164;
Q.S. 7:59,65,73,85,158;
Q.S. 9:31,129;
Q.S. 10:90;
Q.S. 11:14,50,61,84;
Q.S. 16:36;
Q.S. 13:16;Q.S. 17:22,56;
Q.S. 18:15;
Q.S. 19:48;
Q.S. 20:8,14,98;
Q.S. 22:40;
Q.S. 23:23,32,91,116,117;
Q.S. 25:3,55,68;
Q.S. 27:60,61;
Q.S. 28:70,71,72,88;
Q.S. 34:22;
Q.S. 35:3,13;
Q.S. 36:23;
Q.S. 37:35;
Q.S. 38:65;
Q.S. 39:6,17;
Q.S. 40:62,65;
Q.S. 45:23;
Q.S. 46:28;
Q.S. 47:19;
Q.S. 59:22,23;
Q.S. 60:4;
Q.S. 64:13;

source: http://aqidahtauhid.blogspot.com/2007/06/aqidah-tauhid-introduction-1.html

Sabtu, 27 Desember 2008

Kebrutalan Teroris Israel, Bunuh Lebih dari 140 Muslim Gaza, Di Manakah Tentara Negeri Muslim?




Syabab.Com - Kebrutalan teroris Israel tak pernah berhenti membunuh kaum Muslim. Pesawat tempur penjajah Israel meluncurkan serangan udara besar-besaran pada hari ini, Sabtu (27/12/08), membunuh setidaknya 140 orang warga dan melukai 200 orang lainnya. Serangan brutal teroris Israel ini dilakukan selang dua hari setelah Menlu Israel berjabat tangan dengan penguasa Mesir, seolah sebagai restu untuk melakukan pembunuhan terhadap kaum Muslim Palestina. [plus foto]

Pesawat temput F-16 secara bermsaan menembakkan lebih dari 30 rudal yang ditujukan pada 30 target terpisah di Gaza, kata seorang pejabat keamanan Palestina.

TV Al-Arabiya menunjukkan cuplikan para penyelamat untuk membantu warga yang terluka akibat kebiadaban teroris Israel itu. Ratusan mayat tersebar di lantai dan kepulan asap di atas area tersebut, menyebabkan kekacauan dan kepanikkan.

Militer teroris Israel tidak segera berkomentar atas serangan teroris mereka itu, yang mengikuti keputusan kabinet keamanan teroris Ehud Olmert untuk membalas dendam serangan roket Palestina di Israel.

Hari demi hari, setelah jeritan kaum Muslim Palestina akibat kelaparan dan blokade, derita itu terus berlanjut dengan pembantaian atas mereka. Hingga hari ini pula, para penguasa Muslim dan tentara Muslim dunia berdiam diri. Entah, apakah yang akan mereka katakan, ketika di akhirat kelak, seorang anak Palestina berkata, "mereka telah menelantarkan kami, hingga kami terbunuh..., di manakah kalian?"





Sementara para penguasa negeri Muslim, di antara mereka malah berjabat tangan dengan para pejabat tinggi Israel yang tangannya masih berlumuran dengan darah kaum Muslim itu. Seperti yang dilakukan oleh pejabat tinggi Mesir, tanpa rasa malu, telah berjabat tangan dengan Menlu Teroris Israel Tzipi Livni di Kairo, Kamis, 25/12/08 [baca: Pengkhianatan Mubarak, Di Tengah Derita Palestina, Berjabat Tangan dengan Teroris Israel ]. Di waktu yang sama, para penguasa itu menolak untuk menolong saudara mereka yang kelaparan di Palestina. Sungguh mengerikan.

Kembali, mata kita menyaksikan, dunia pun menyaksikan kebrutalan para penjajah yang telah mencaplok negeri kaum Muslim. Darah para syuhada Palestina pun terus membasahi negeri Palestina yang di dalamnya terdapat tempat yang diberkahi itu. Di waktu yang bersamaan dunia pun bungkam, para penguasa Muslim diam, dan tentara kaum Muslim entah di mana. Di manakah amirul mukminin umat ini?

Betapa derita kaum Muslim tak berhenti, ketika Khilafah Islamiyyah, institusi pemersatu umat itu tiada. Di manakah tentara kaum Muslim? Di manakah jiwa-jiwa Umar al-Faruq dan Shalahuddin Al-Ayubi itu? Sampai kapan derita itu terus terjadi? Lalu apa yang akan kita katakan di hadapan Muslim Palestina kelak? [mh/z/al-arabiya/syabab.com]









































’Saya Lebih Baik Dari Dia’ (Ana Khairun Minhu)

Sombong, barangkali sama tuanya dengan peradaban manusia. Iblis dikutuk dan dikeluarkan dari surga juga lantaran sombong. Ia menolak bersujud kepada Adam as, manusia pertama, karena merasa dirinya lebih baik.

Allah berfirman: 'Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang (yang) lebih tinggi?' Iblis berkata: 'Aku lebih baik daripadanya, karena engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah'." (Shaad: 75--76).

"Ana khoirun minhu (saya lebih baik dari dia)," kata Iblis. Merasa diri lebih baik dari pada yang lain itulah sombong. Dan akibat sombong, iblis dikutuk.

Allah berfirman: 'Maka keluarlah kamu dari surga, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan." (Shaad: 77--78).

Kita berlindung kapada Allah dari perbuatan sombong, baik dalam bentuk sifat, sikap maupun perilaku, karena ia dapat menjadi penghalang masuk jannah. Rasulullah saw bersabda, "Tidak akan masuk jannah (surga) seseorang yang terdapat dalam hatinya sifat sombong (kibr) meskipun hanya sebesar biji sawi." (HR Muslim).

Berhati-hatilah kita, karena sifat, sikap, dan perilaku merasa lebih baik, lebih mulia bisa menimpa siapa saja. Seorang tokoh yang memiliki pengikut banyak, reputasi yang luas juga berpotensi untuk menyombongkan diri lantaran ketokohannya dan pengikutnya yang banyak. Seorang yang memiliki tubuh kuat, atletis, jawara, kadang tergoda memamerkan bentuk tubuhya, disamping tidak jarang gampang terpancing perkelahian, dalam urusan kecil sekalipun, hanya lantaran merasa dirinya pendekar.

Seorang rupawan juga kadang tergoda untuk membanggakan kecantikannya dan meremehkan yang tidak seganteng dan secantik dirinya, bahkan sampai mencacat bentuk fisik orang lain. Seorang hartawan sering tergoda membanggakan pakainnya yang bagus, kendaraannya yang mewah, rumahnya yang mentereng dengan melihat sebelah mata pada kaum alit yang kumal, kotor, kolot dan pinggiran. Seorang pejabat yang kebetulan pangkatnya lebih tinggi kadang merasa lebih baik dari bawahannya. Presiden merasa lebih baik dari menteri, jenderal merasa lebih baik dari kopral, direktur merasa lebih baik dari karyawan dan seterusnya.

Rasa sombong juga dapat menghinggapi ilmuwan. Ilmunya setinggi langit, titelnya profesor doktor, hafal Alquran, dapat berbicara dalam banyak bahasa. Tetapi, ia tidak sabar untuk menahan dirinya merasa lebih baik dari masyarakatnya. Seorang bangsawan, karena merasa berasal dari keturunan yang mulia, aristokrat, darah biru, kadang merasa tidak sepadan jika harus bersanding, bergaul dengan yang bukan bangsawan.

Bahkan sifat sombong juga dapat menimpa seorang ahli ibadah atau ulama. Sosok yang secara kasat mata (dhahir) terlihat wara' (sangat hati-hati bersikap), zuhud (sederhana), bertahajud setiap hari, berpuasa senin-kamis, sholat rawatibnya tidak pernah tertinggal. Karena salatnya rajin sekali hingga jidatnya hitam. Namun, ternyata ia tergoda untuk menganggap dirinya orang yang paling suci, paling baik, paling takwa. Orang lain dianggap tidak ada apa-apanya dibanding dia.

Kisah Abu Dzar patut kiranya menjadi pelajaran. Suatu ketika beliau sedang marah kepada seorang laki-laki sampai terucap, "Hai anak wanita hitam." Rasulullah mendengar hal itu, kemudian bersabda, "Wahai Abu Dzar, tidak ada keutamaan bagi kulit putih atas kulit hitam," (dalam riwayat lain ditambahkan, "melainkan karena takwa"). Mendengar hal itu Abu Dzar sangat menyesal hingga meminta orang tadi untuk menginjak pipinya. (HR Imam Ahmad).

Allah SWT berfirman : "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS, Luqman: 18).

Perihal sombong, Rasulullah mendefinisikan dalam sebuah riwayat, "Kibr (sombong) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR Muslim). Dua kata kunci: menolak kebenaran dan meremehkan manusia, itulah sombong. Ketika ada rasa ingin menonjolkan dan membanggakan diri, ketika hati kita keras menerima nasihat terlebih dari yang lebih yunior, ketika pendapat kita enggan untuk dibantah bahkan tidak jarang dipertahankan dengan dalil yang dipaksakan, ketika kita tersinggung tidak diberi ucapan salam terlebih dahulu, ketika kita berharap tempat khusus dalam sebuah majlis, ketika kita tersinggung titel dan jabatan yang dimiliki tidak disebut, maka jangan-jangan virus takabbur telah meracuni diri kita.

Imam Ghozali mengajari cara mawas diri agar tidak terjebak dalam sikap merasa lebih baik. Ketika kita melihat seseorang yang belum dewasa, kita bisa berkata dalam hati: "Anak ini belum pernah berbuat maksiat, sedangkan aku tak terbilang dosa yang telah kulakukan, maka jelas anak ini lebih baik dariku." Ketika kita melihat orang tua, "Orang ini telah beramal banyak sebelum aku berbuat apa-apa, maka sudah semestinya ia lebih baik dariku." Ketika kita melihat seorang 'alim, "Orang ini telah dianugerahi ilmu yang tiada kumiliki, ia juga berjasa telah mengajarkan ilmunya. Mengapa aku masih juga memandang ia bodoh, bukankah seharusnya aku bertanya atas yang perlu kuketahui?" Ketika kita melihat orang bodoh, "Orang ini berbuat dosa karena kebodohannya, sedangkan aku? Aku melakukannya dengan kesadaran bahwa hal itu maksiat. Betapa besar tanggung jawabku kelak.

Lantas, atas dasar apa kita membanggakan diri ? Bukankah dunia ini bersifat fana? Bukankah kekayaan, pangkat, kecantikan, keturunan, pengikut, dan ilmu merupakan anugerah Allah yang bersifat sementara dan ujian bagi setiap manusia? Perbedaan fisik manusia tidak permanen dan ditujukan untuk menguji kesabaran dan akhlak manusia. Semuanya dapat dicabut sewaktu-waktu jika Allah menghendaki. Ia pun dapat merubahnya sekejab, si cantik dapat diubah-Nya menjadi si buruk rupa, sang jagoan bisa menjadi si buta, si kaya dapat bangkrut seketika, sang pejabat menjadi penghuni penjara, dan seterusnya.

Allah hanya melihat ketakwaan seorang hamba. Bukan kekayaan, pangkat, fisik atau keturunan. Maka sungguh rugi kalau masih ada anak manusia yang masih merasa ana khairun minhu (saya lebih baik dari dia).


Source : Roni Suarsa, di www.Al-Islam.co.id

Jumat, 19 Desember 2008

HIJRAH..

Bahwasanya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berusaha bersungguh-sungguh pada jalan Allah, mereka itulah mendapat rahmat Allah dan Allah maha pengampun lagi maha pengasih ( 2: 218 )

Dalam zaman baru itu pula kita dapat mengetahui betapa amal usaha serta langkah-langkah yang dilakukan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya, baik menghadapi umat islam sendiri maupun berhadapan dengan dunia luar.

1. Arti Hijrah

Adapun perkataan Hijrah itu asal mulanya terambil dari pada perkataan "hadjara" yang mempunyai makna amat berbagai-bagai, menurut keadaan, kejadian dan waktu dipakainya perkataan itu. Diantara makna-makna yang terkandung di dalam perkataan "hadjra" itu adalah seperti berikut :

1). Hijrah di dalam makna: Menyingkiri ( sesuatu ),

seperti yang dimaktubkan dalam Al–Quran Surat Al–Mudatsir ayat 5 :

.. Dan singkirilah perbuatan dosa itu"
( Al-Mudatsir ayat 5 ialah termasuk ayat2 yang terdahulu diturunkan / ayat mekkah )

2).Hijrah di dalam makna : meninggalkan dan berpaling (dari pada sesuatu),

yang terkandung di dalam Al–Quran Surat Maryam ayat 46

..Dan tinggalkanlah kami sebentar"

( Surat Maryam ayat 46 termasuk pula ayat2 mekkah yang pertama, menceritakan tentang riwayat Nabi ibrahim berhadapan dengan kaum musyrikin pada zamannya. Perkataan yang ada di dalam Al-Quran itu adalah bagian dari pada kata-kata orang musyrik kepada Nabi Ibrahim,,yang antaranya mengaharap kepada Nabi Ibrahim itu, supaya ia suka meninggalkan mereka buat sementara waktu. Tegasnya mereka jangan merasa terganggu di dalam penyembahan berhalanya. Ayat ini kita kutip hanyalah untuk meluaskan paham kita tentang arti hijrah).

3). Hijrah di dalam makna : Menjauhkan diri ( dari sesuatu ),

yang terkandung di dalam Al–Quran Surat Al–Muzammil ayat 10

.. Dan hendaklah engkau sabar atas perkara yang mereka katakan dan hendaklah engkau ( Muhammad ) menjauhkan diri dari mereka, dengan laku dan cara (menjauhkan) yang baik."

( Surat Al-Muzammil ayat 10 ini pun termasuk ayat mekkah yang pertama-tama diturunkan, Ayat ini mengandung makna khusus yang mengenai Nabi ( ataupun seorang muslim lainnya ), Sebab semua itu disandarkan atas penglihatan mata, pendengaran telinga,pendeknya berdasarkan atas penyelidikan dan pengetahuan serta pengalaman panca indera, yang hal ini memang tidak mudah dan sangat sukar disengajakan bersama-sama.

Misalnya, seorang muslim melihat seorang musyrik sedang menyembah berhala, yang timbul dari keyakinan, tidaklah si muslim itu akan mengajak saudaranya untuk melihat perbuatan syirik itu, kemudian baru meninggalkan tempat penyembahan berhala itu ataupun menjauhkan diri dari pada mereka ( musyrik ). Melainkan pada waktu itu ia menyaksikan perbuatan itu, maka pada waktu itu juga ia wajib meninggalkan tempat tersebut, atau menjauhkan diri dari pada mereka itu ( dengan segera waktu itu juga harus meinggalkan tempat tersebut. Ataupun menjauhkan diri dari pada mereka itu. Dengan tidak tergantung kepada adanya kawan atau tidak )).

4). Hijrah di dalam makna : Memisahkan ( sesuatu ),

seperti yang dimaksudkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 34 :

..Dan pisahkanlah mereka ( perempuan ) di dalam tempat-tempat tidurnya…."

( Yang perlu diterangkan disini ialah, bahwa kejadian yang demikian itu-perpisahan antara laki-laki dan perempuan, di dalam perikatan suami istri-tidak pula di dalam riwayat Nabi. Ataupun di dalam Al-Quran, terdapat sikap,merujuk di dalamnya).

5). Hijrah di dalam makna : Memutuskan perhubungan ( dengan sesuatu ) atau pindah dari dari sesuatu kepada yang lainnya.

Seperti yang dimaksudkan di dalam Al-Quran surat Ali-Imran ayat 194 :

...Maka mereka yang pindah dari mekah, memutuskan perhubungan dan karena dikeluarkan oleh orang Quraisy dari tempat-tempat kediaman mereka itu….

( Dalam surat 3 : 194, termasuk ayat-ayat madinah, teranglah sudah, bahwa arti perkataan,,hadjara di sini ialah, putus perhubungan atau pindah dari satu tempat kepada tempat yang lainnya.) Putus perhubungan,karena mereka dikeluarkan ( diusir ) atau dihalaukan dari tempat-tempat kedudukannya yang mula-mula; bukanlah karena mereka sengaja memutuskan perhubungan itu, karena hawa nafsunya.
Ayat ini mengenai umum, sebab di dalam ayat itu–selainnya susunan perkataan dan rangkaian kalimatnya, menunjukan, bahwa hijrah itu dilakukan bersama-sama–dimaktubkan pula perkataan-perkataan,,……..min dzakarin au untsa…." ( dari pada laki-laki atau perempuan ). jadi beda dengan ayat-ayat yang tersebut dalam (1), (2), (3). ))

2. Siapakah yang harus Hijrah?


Menurut riwayat islam ( Al–Quran ), maka yang wajib Hijrah ialah tiap-tiap orang laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Di dalam Al-Quran, Surat Al-Ahzab ayat 50, dikatakan dengan tegas, bahwa orang-orang perempuan pun ikut Hijrah, bersamaan dengan laki-laki, istimewa Nabi :

..(Mereka perempuan) yang hijrah berserta engkau Muhammad!"

Mereka itu melakukan Hijrah dengan nabi. Seperti di dalam tiap-tiap perkara dan di dalam tiap-tiap ketentuan ada juga, perkecualiannya, maka disini pun ada juga perkecualiannya,
seperti firman Allah Surat An-Nisa ayat 98 :

Melainkan orang-orang yang lemah dari pada orang laki-laki dan perempuan dan anak-anak, yang tidak mempunyai kekuatan ( kekuasaan ), atau tidak mendapat jalan ( untuk Hijrah itu).

3. Kemana Hijrah ?

Di dalam tarikh berkali-kali dilakukan Hijrah itu, dan tempat yang ditujunya pun berbeda-beda

1). Hijrah ke Habsyi, yang dilakukan di dalam pertengahan zaman mekkah;

2).
Hijrah Nabi dan kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat dan sanak keluarga ke Madinah; sebelum itu pun ada pulalah tercatat tarikh, Hijrah sahabat-sahabat Nabi ke Madinah dalam awal tahun kenabian yang ke 13, sesudah baiat Aqabah kedua.
Bagi kaum Muslimin ‘umumnya sukarlah memperbedakan antara mekkah dan Habsyi, Mekkah atau Madinah, begitu juga perbedaan antara satu dengan yang lainnya.

___Mekkah dalam anggapan bukan mekkah di tanah arab, melainkan ialah 'Mekkah' di Indonesia, dengan ringkas kita katakan, 'Mekkah' Indonesia, Habsyi, satu negeri yang menjadi penting di dalam riwayat islam karena menjadi tempat perlindungan, bukan pula 'Habsyi' yang terletak di Afrika utara, melainkan ialah, 'Habsyi' di Indonesia atau dengan ringkas, 'Habsyi 'Indonesia, Madinah, satu negeri Haram, dimana Nabi mendapatkan keamanan / perlindungan dari Allah, dalam anggapan bukanlah pula 'Madinah' di tanah arab itu. Melainkan ialah Madinah di Indonesia atau 'Madinah' Indonesia."

Jadi, jika kita hendak mengikuti ( itba’) kepada langkah-langkah Nabi. Di dalam bagian Hijrah yang terlampau amat penting ini, bukanlah maksudnya, supaya kita pergi ke Mekkah ( di negeri Arab ), Bukan!! sekali-kali bukan!!

Syahdan, maka mekkah ( tempat kelahiran orang-orang muslimin yang masuk golongan Muhajirin ) dan Madinah, Habsyi, letaknya di Indonesia pula, di kampung dan negeri kita sendiri, di tempat-tempat kelahiran dan tanah tumpah darah kita sendiri.

Janganlah hendaknya pembaca keliru dalam faham akan kata-kata, seperti : 'Mekkah' Indonesia", 'Habsy' Indonesia, 'Madinah' Indonesia ! Bukan maksudnya untuk mengadakan satu negeri yang bernamakan mekkah, Habsyi dan Madinah di tanah tumpah darah kita ini ! Bukan pula maksudnya supaya negeri Mekkah dan lain-lain di benua lain itu, harus di pindahkan kesini! Melainkan yang dimaksudkan dengan perkataan2 tersebut ialah : Nama – nama tempat itu mengandung arti isti’arah ( Figuurliyk ), dan tidak boleh di fahamkan sepanjang kata-kata itu saja ( letterliyk). Hal ini hanya berarti dalam bagian Hijrah semata-mata, dan tidak sekali-kali berkenaan dengan ibadah yang lainnya, Misalnya: Naik Haji.

4. Berlakunya Hijrah

Terbagi menjadi tiga bagian :

1). Wajibnya Hijrah

Wajibnya Hijrah yang dijatuhkan atas kaum muslimin, bukanlah orang-orang yang bertempat tinggal di Madinah, di Habsyi ataupun di lain-lain tempat, melainkan ialah wajib atas kaum muslimin yang bertempat tinggal dan berumah di mekkah.

Orang-orang yang di Madinah atau lain-lain tempat diluar Mekkah itu, boleh menjadi bagian kaum Muslimin yang membela dan memperlindungi ( Anshar ) saudara-saudara kaum Muhajirin; boleh juga ia menjadi kaum Munafiqin, yang pura2 masuk islam, tetapi sengguhnya hendak melakukan khianat, ataupun mereka itu boleh tetap di dalam kekufurannya, tegasnya memegang teguh akan peraturan dan keyakinan-agamanya yang dulu-dulu ( sebelum islam ).

Itulah hanya terserah kepada mereka itu sendiri, dan tergantung kepada pertolongan Allah semata-mata! Orang-orang Mukmin yang Hijrah baik ke Habsyi, atau ke Madinah samalah derajatnya, seperti yang termaktub di dalam Al-Quran Surat An-Anfal ayat 75 :

..Dan orang-orang yang kemudian beriman, dan hijrah dan berusaha sungguh2 pada jaln Allah bersama-sama kamu, mereka itulah termasuk golonganmu ( ummat Muhammad ).

2). Zaman Hijrah

Pada zaman inilah, yang berlakunya Hijrah Nabi, hingga kepada zaman fatah dan zaman falah, Tegasnya : zaman kemenangan islam, yang lamanya kurang lebih 8 tahun itu, kaum Muslimin yang termasuk bagian Ansar-sesungguhnya mereka itu tidak ikut Hijrah, karena tidak ada alas an untuk melakukan Hijrah itu–mempunyai derajat yang bersamaan dengan kaum Muhajirin.

Bahkan di dalam Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 72 dikatakan, bahwa mereka itu adalah pembela dan pelindung antara satu dengan yang lainnya :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan sama Hijrah dan sama usaha dengan sungguh2 pada jalan Allah dengan harta benda dan jiwanya, dan orang-orang yang memberi tempat perlindungan dan membantunya ;mereka itulah satu sama lindung-melindungi….

Lebih tegas lagi di dalam Al-Quran, surat tersebut ayat ke 74 nya, dikatakan bahwa mereka itu –Muhajirin dan Ansar adalah orang-orang Mukmin yang sunguh-sungguh:

... Dan mereka yang beriman, dan Hijrah dan bekerja sungguh-sungguh pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi perlindungan dan membela ( mereka itu ); Mereka ( Muhajirin dan Ansyar ) itu orang-orang yang beriman yang sesungguh-sungguhnya; bagi mereka itu ( diberikan Allah ) ampun dan rizki ( pemeliharaan ) yang cukup-cukup."

3). Kesudahan Hijrah

Hijrah itu masuk bagian (1) dan (2) diatas-tidak boleh disudahi dan diperhentikan, sebelum datang falah (bahagia) dan Fatah (kemenangan) yang nyata. Dan Hijrah itu wajib pula terus berjalan, selama di tempat itu masih merajalela peraturan-peraturan Zahiliyyah (Thaghut), Tegasnya peraturan2 yang melanggar (tidak sesuai) dengan Al-quran dan Hadist.

Dalam Tarikh dituliskan, bahwa berhentinya Hijrah itu pada waktu islam telah mendapat kemenangan atas Mekkah, satu kemenangan yang hanya akan tercapai dengan kehendak (Iradat) dan kekuasaan (Qudrad) Allah semata-mata!!

Sejak zaman itu tidak lagi terjadi putus perhubungan atau perpisahan antara Mekkah dan Madinah, melainkan kedua itu disatukan. Bukan disatukan dalam arti kata, yang kedua negeri itu menjadi satu negeri! Jauh jaraknya ( antaranya ), tidak berubah batas-batas kedua negeri itu!, Karena kedua negeri itu, sejak datangnya Falah dan Fatah yang nyata itu, diikat oleh tali-tali ( hukum-hukum ) Allah! karena kedua negeri menjadi tempat penyembahan Allah yang terutama!, Karena kedua negeri itu masing-masingnya disucikan oleh Allah! Maka sudah sepatutnya, yang kedua negeri itu sejak mula disucikan oleh Allah hingga pada saat ini, terkenal namanya sebagai ,,Haramain", tegasnya kedua negeri yang suci.

5. Sebab – sebab Hijrah

Untuk mengetahui dan mendapat kenyataan akan apakah sebab-sebab Hijrah" yang sesungguhnya itu, hendaklah lebih dahulu kita periksa ayat-ayat Al-Quran:

( 74 : 5 , ( 19 : 46 ), ( 25 : 30 ), ( 73 : 10 ), ( 4 : 34 ), ( 29 : 26 ), ( 3 : 194 )

Disitu nyatalah bahwa perbuatan Nabi, yang disebut Hijrah itu, bolehlah di bagi menjadi dua bagian yang besar :

1. Hijrah yang diwajibkan atas manusia seorang diri ( individu ), yang hanya dapat dilakukan oleh seorang saja.

2. Hijrah yang diwajibkan atas segolongan manusia sebagai satu badan universal. Hijrah bagian ini dapat dan harus dijalankan bersama-sama. Di dalam Hijrah yang (2) ini, menurut sifat perbuatan Nabi , dapat pula kita bagi menjadi 2 bagian :

(a) Perbuatan dan sikap serta langkah Nabi dalam Hijrah yang hanya mengenai keperluan dan kepentingan kaum Muslimin sendiri, di dalam dan atas kaum Muslimin itu pula. Hijrah ini boleh kita namakan Hijrah ke dalam ( Intern )

(b) Perbuatan Nabi, yang mengenai orang2 atau golongan di luar kaum Muslimin. Karena sifatnya boleh kia namakan Hijrah ke luar ( Extern ).

Jika kita suka menyelidiki Tarikh Nabi, dengan teliti, maka nyatalah, bahwa yang menyebabkan timbulnya Hijrah yang (1) ataupun yang (2) hanyalah karena ada Fitnah di dalam Agama semata-mata, sebagaimana yang tersebut dalam Firman Allah :

Surat An-Nahl ayat 110 :

....Dan sesungguhnya Robb-Mu tentang orang-orang yang Hijrah, setelah mereka mendapat fitnah ( cobaan ) dan kemudian usaha sungguh2 dan bersabar–sesungguhnya Robb-Mu itu maha pengampun pengasih.

Dan lagi menurut Hadist yang diriwayatkan dari pada siti Aisyah :

….Maka Hijrah itu wajib atas tiap-tiap Muslim yang takut difitnah karena agamanya.

Pada lazimnya orang mengenal arti kata Fitnah" itu hanyalah dalam arti : kesukaran, penganiayaan ( dzalim ), kesusahan dan lain-lain yang dirasa tidak sesuai dengan nafsu manusia mencari enak." Padahal bukan begitulah maksudnya! Fitnah bolehlah kita artikan : Cobaan, Ujian, Siksa dan ketiadaan kepercayaan (jahil). Tukang mas yang hendak menguji atau mencoba mas dengan cara melebur atau lainnya, dalam lughot arab perbuatan yang demikian itu dikatakan fitnah".

Perbuatan seorang mengajak–ajak atau membujuk orang, supaya durhaka, dikatakan juga fitnah. Orang menganiaya ataupun menyiksa orang, supaya tergelincir dari pada jalan yang benar, perbuatan yang demikian itu disebut juga dengan fitnah. Pemberian makanan dan minuman atau lain-lain yang nampaknya bagus, lezat dan enak yang dapat menyebabkan tinggalnya wajib, pun dikatakan orang juga fitnah".

Mengingat keterangan diatas, maka pada umumnya bolehlah fitnah itu kita artikan: tiap-tiap perbuatan atau apapun juga sifat dan wujudnya, yang boleh menjadi sebab akan tersesatnya manusia dari jalan kebenaran, sepanjang jalan-jalan Agama islam. Sehingga dengan keterangan itu, fitnah itu bolehlah nampak bagus, baik, enak, dll. Yang boleh mengharukan dan menghiburkan hati manusia.

Misalnya: tawaran kaum Quraisy kepada Rasulullah, yang berupa: mengangkat beliau menjadi raja ( presiden ) arab, memberi harta-benda sebanyak-banyaknya ataupun menghadiahkan kepada beliau wanita2 arab yang cantik–dengan syarat / janji, supaya Rasulullah suka menghentikan penyiaran Agama ( Din ) Allah ( Berhenti berdakwah ).

Sebaliknya fitnah yang tidak enak diderita, yang menimbulkan kesukaran dan kesusahan, Misalnya : penganiayaan kepada sahabat-sahabat Nabi. Oleh kaum Quraisy, dan lain-lain yang serupa itu. Bahkan di dalam kitabullah kita dapati pula ajaran-ajaran bahwa dunia, perempuan dan anak-anak kita itu semuanya menjadi fitnah.

Dunia menjadi fitnah, jika dengan karena dunia itu kita menjadi sesat! Anak dan istri kita dan apapun juga bisa menjadi fitnah, Jika semuanya itu menjauhkan kita dari pada rahmat Allah ataupun menyimpangkan kita dari pada jalan Allah!

6.Maksud dan Tujuan Hijrah

Adapun Maksud dan tujuan Hijrah yang pertama-tama dan terutama sekali ialah : Mengharapakan, mencari dan mendapatkan Rahmatullah : Rahmatullah yang boleh disaksikan oleh tiap-tiap orang yang tidak sengaja memungkiri Tarikh Nabi dan Tarikh Agama islam umumnya, terutama sekali sejak Madinah, sejak tahun pertama hingga datangnya fatah dan falah ( 8H ) ; Rahmatullah yang berupa keselamatan Dunia dan Akhirat ; Rahmatullah yang dijanjikan kepada tiap-tiap manusia yang ber-illah-kan kepada Allah yang esa, dan yang ber-Nabikan kepada Muhammad Rosulullah. Rahmatullah itulah yang wajib kita harapkan ! Rahmatullah itulah yang wajib kita cari ( thalab )! Dan Rahmatullah itu pulalah yang wajib kita dapatkan!

Selain dari pada itu, yang terkandung di dalam maksud dan tujuan Hijrah itu, ialah: Mengharapkan, Mencari dan mendapatkan Ridho dari pada Allah SWT, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah, Surat At-Taubah ayat 100 :

Dan tentang yang terlebih dahulu, (orang-orang) yang pertama-tama termasik golongan Muhajirin dan Anshar, dan orang2 yang mengikuti ( langkah ) mereka itu dengan sebaik-baiknya ( semulia-mulianya); (maka) Allah meridhai mereka itu ridho akan dia(Allah)..

7 .Macamnya Hijrah

Menurut sifat laku dan perbuatan yang dilakukan, maka macamnya Hijrah itu pada garis besarnya terbagi atas empat bagian :

1). Hijrah Fi-Liyah

Adapun yang dimaksudkan dengan Hijrah Fi-Liyah ialah Hijrah dari pada faham, kehendak, nafsu dan pengertian "kedunian" ( habbuddunya ) kepada faham, kehendak, nafsu dan pengertian membelakangkan dunia" ( zuhuddunya). Orang ini mempunyai keyakinan dan tahu akan wajibnya untuk Hijrah dari pada keadaan yang memaksa itu ( misalnya : kedzaliman ), tetapi tidak kuasa dan tidak pandai melepaskan diri dari pada keadaan dan kejadian itu, Oleh sebab itu, maka Hijrahnya hanyalah Hijrah dalam I’tiqad. Tegasnya Hijrah karena cinta kepada Allah" ( Hubullah ), seperti yang boleh kita ambil pelajarannya dari pada Al-Quran, Surat An-Nahl ayat 41 :

Dan tentang orang-orang yang Hijrah karena Allah, setelah mereka mendapat penganiayaan pastilah kami ( Allah ) akan memberi kepadanya tempat di dunia yang baik ( hasanah ) dan ganjarannya ( kami kepada mereka itu ) di akhirat tentulah lebih besar, kalau saja mereka itu mengetahui.

Orang-orang yang hidup dalam Hijrah karena Allah ini tidak lagi suka ingat kepada segala sesuatu keduniaan, tetapi yang selalu dicarinya ialah segala jalan supaya ia ingat ( dzikir ) kepada Allah."

2 ). Hijrah Fi – Sabilillah

Adapun yang dikatakan Hijrah Fisabilillah ini, selainnya harus Hijrah di dalam I’tiqad, juga harus tampak pula dalam amal perbuatannya. Antara lain2 tentang Hijrah ini, di dalam Al-Quran Surat Al-Hajj ayat 58 :

Dan mereka yang Hijrah pada jalan Allah dan kemudian mereka itu dibunuh atau mati; pastilah akan memberi rizki yang baik ( pemeliharaan yang bagus) bahwasanya Allah adalah pemberi rizki ( pemelihara ) yang sebagus-bagusnya bagi mereka.

3 ). Hijrah Illallah

Hendaknya periksa dulu (Surat Al–ankabut ayat 26 ), Orang yang Hijrah Illallah ini mempunyai satu keyakinan, bahwa semesta alam ini adalah kepunyaan Allah, dan ada" atau tiadanya itu hanyalah tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Allah semata-mata. Oleh sebab itu, maka segenap apapun juga harus dikembalikan ( dipulangkan ) kepada Allah.

Lebih jauh orang yang hidup dalam Hijrah Illallah ini berpendirian, bahwa segala apa yang mengenai dirinya atau yang ada diluar dirinya, haruslah menjadi "jembatan", untuk tawaddu dan dzikir kepada yang esa.

Seperti Hijrah Fi-Liah tidak sempurna, jika tidak dilakukan Hijrah Fisabilillah, demikian pula Hijrah illallah ini tidak akan bisa sempurna, jika cara dan lakunya tidak dicontohkan menurut Sunnah Rasulullah yang nyata dan Hijrah illallah yang berpedoman kepada Sunnah Rasulullah.
inilah yang dikatakan :

4 ). Hijrah Illallah wa IllaRasulihi


Tentang Hijrah ini, antara lain-lain adalah termaktub dalam Hadist yang diriwayatkan dari siti aisyah sebagai berikut :

Tidak ada Hijrah pada waktu ( hari ) setelah ( datang ) fatah karena sesungguhnya Hijrah itu adalah keadaan kaum Muslimin ( pergi ) mendapatkan Allah Ta’ala dan pergi mendapatkan Rasulullah, karena Agamanya….."

8 .Sahnya Hijrah

Sekadar ayat2 yang kita tuliskan di dalam bab ini cukuplah kiranya untuk menunjukan, bahwa hampir di dalam tiap2 ayat yang menceritakan Hijrah, adalah pula terdapat perkataan Jihad", di dalam berbagai–bagai rangkaiannya. Oleh sebab itu, sesuatu perbuatan Hijrah itu tidak dapat dianggap sah, jika dalam Hijrah itu tidak dilakukan Jihad.

Hijrah yang tidak memakai Jihad adalah berarti negative, ibarat Nahi Munkar dengan tidak disertai Amar Ma’ruf. Jika kita melihat kejahatan atau keburukan, baik yang mengenai seorang maupun yang mengenai masyarakat umum, kemudian kita meninggalkan, memutuskan perhubungan dengan dia, ataupun menjauhkan diri dari pada keadaan atau kejadian itu, bukanlah perbuatan yang demikian itu boleh dikatakan Hijrah, Suka mencela dan tidak pandai memperbaiki, bukanlah Hijrah namanya!

Oleh sebab itu, untuk menyempurnakan amal perbuatan kita di dalam melakukan wajib, yang chas ataupun yang ‘am, perlulah kita menentukan Program Jihad. Satu program yang menunjukan akan langkah-terjang yang hendak dilakukan oleh sesuatu golongan atau partai, yang mengaku hendak, menjunjung Agama ( Din ) Allah lebih dari pada segala apa yang boleh dipikirkan."

9 . Bangunan Hijrah


Pada lazimnya faham agama didalam kalangan ummat bangsa kita terlampau amat sempit. Kalau seoarang sudah suka bersembahyang ( ritual ) 5 waktu. Orang itu dikatakan orang, orang beragama"! karena ia suka mengeluarkan zakat dan fitrah yang tidak pada tempatnya, ia pun dinamakan orang, orang beragama"! Begitu seterusnya.

Sehingga faham umum tentang agama" itu hanyalah semata-mata mengenai urusan kewajiban makhluk kepada Allah belaka, tidak bersangkut paut dengan keadaan dunia ini.

Itulah sebabnya ada timbul pula faham, agama dan dunia" seolah-olah agama itu sama sekali terpisah dari pada urusan dunia! Apa sebab ? Sebabnya tidak lain, yakni karena ummat islam bangsa kita sudah terpengaruhi oleh faham-faham Barat, terutama dari Agama Kristen dan yahudi ( Orang2 yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu ( kaum muslimin ) hingga kamu mengikuti Agama ( Din / peraturan ) mereka… Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 120 )), yang dari sedikit demi sedikit sudah mendarah daging di dalam kalangan ummat islam bangsa indonesia!

Faham Barat tentang Agama ialah kewajiban si makhluk terhadap tuhannya , Agama ialah urusan akhirat, bukan urusan dunia, Agama ialah perbuatan hati, buka amal usaha dhohir, begitulah seterusnya. Hingga akhirnya menyebabkan pula timbulnya faham, agama dan Negara ( Dunia ), agama yang terpisah dari urusan politik ( sekuler), agama yang tidak mencampur / membaur dengan urusan negara ( pemerintahan ) agama yang diasingkan dari pergaulan antara manusia dengan manusia di dalam urusan Muamalah, Jinayah ataupun Siyasah!

Inilah salah satu penyakit-batin yang menghinggapi tubuh pergaulan hidup Ummat islam bangsa kita! inilah pula yang menyebabkan jatuhnya harkat-derajat Ummat islam Indonesia, di dalam pandangan bangsa-bangsa atau Ummat2 di permukaan bumi ini ataupun di dalam pandangan Allah SwT Jatuh karena agamanya, tidak mempunyai sifat dan bangunan yang tentu–tentu Jatuh, karena agamanya tinggal di dalam hati dan bibir belaka! Jatuh, karena amal perbuatannya Ummat Islam tidak sesuai dengan hukum-hukum Allah !!!

Syahdan, maka Agama ( Din) di dalam faham dan pengertian islam itu bukanlah hanya perkara-perkara yang mengenai akhirat, mengenai ritual (rubbubiyah) belaka, melainkan Agama Islam ialah Agama kesempurnaan (Universal), agama yang memberi peraturan–peraturan, pengajaran dan pendidikan, dhohir dan bathin, dunia dan akhirat, pendek panjangnya Agama Islam adalah segala peraturan (Addien) Allah yang diturunkan kepada Rasulnya Muhammad untuk segenap Alam, untuk segenap bangsa, untuk segenap keperluan hidup dan kehidupan, untuk segenap apapun juga, mulai yang terkecil, mulai terendah hingga ke keperluan yang paling besar, mulai mengurus rumah tangga, hingga kepada mengekang kendali negara ( pemerintahan ) ; mulai dhohir hingga batin mulai dunia hingga akhirat….begitulah seterusnya !

Mengingat hal-hal yang demikian itu, maka perbuatan Nabi yang dikatakan Hijrah itu, niscayalah bukan hanya mengenai sesuatu bagian dari pada hidup dan kehidupan Masyarakat saja, melainkan Hijrah itu mengenai pula segenap kepentingan hidup dan kehidupan manusia, mulai yang sekecil-kecilnya dalam pandangan manusia-sampai yang sebesar besarnya.

Dan oleh karena tiap-tiap perbuatan dan amal usaha Nabi itu tidak ada yang keluar dari pada sifat Ibadah kepada Allah, dengan jalan langsung ( direck ) ataupun tidak langsung ( indireck ), maka Hijrah itu pun masuk pula kepada perbuatan-perbuatan yang dikatakan Ibadah itu, tegasnya Hijrah adalah satu perbuatan Ibadah.

Menurut garis2 yang besar dan sifat-sifat di dalam Hijrah itu, maka bangunan Hijrah, yang nanti akan berwujud Program–Jihad atau Program–Tandzim itu, bolehlah kita bagi menjadi 2 bagian :

(1) Hijrah mengenai urusan2 Ubudiyah semata-mata, dalam faham pengertian, pengetahuan dan lain-lain.

(2) Hijrah yang mengenai urusan2, yang bersangkutan dengan pergaulan hidup bersama, mulai mengurus seorang diri hingga kepada susunan Masyarakat. Oleh sebab itu sifat yang terkandung di dalam Hijrah bagian Al-Hajatul-Idytima’iyah.

Dalam Hijrah ini termasuk pula segala urusan dan fasal-fasal, pengertian, faham dan pengetahuan tentang :

(a) Sosial ( pergaulan kemaslahatan umum )

(b) Ekonomi ( peraturan pembagian rizki dll )

(c) Politik ( Peraturan-peraturan yang mengenai susunan dan cara-cara mengendalikan sesuatu kerajaan ( Negara )

Copy Right Madinah 7849

Minggu, 07 Desember 2008

Mengapa Harus Negara Islam???

Mengapa kaum muslimin menginginkan berlakunya syari'at Islam dan berdirinya Negara Islam?

Karena, ajaran Islam tidak menyetujui penyekatan antara agama dan politik.

Islam ingin melaksanakan politik selaras dengan tuntunan yang telah diberikan agama dan menggunakan negara sebagai sarana melayani Allah. Islam menggunakan kekuatan politik untuk mere-formasi masyarakat dan tidak membiarkan masyarakat melorot ke dalam "tempat terakhir yang paling buruk".

Hal ini menunjukkan bahwa reformasi yang dike-hendaki Islam tidak dapat dilaksanakan melalui khutbah--khutbah saja. Kekuatan politik juga penting untuk mencapainya. Inilah cara pendekatan Islam. Dan konsekuensi logis dari cara ini adalah bahwa negara harus dibentuk berdasarkan pola-pola Islami.

Inilah ketentuan keimanan Islam dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Konsep Barat yang menerapkan pemisahan agama dari politik (sekulerisme) adalah asing bagi Islam, dan menganut paham ini sama artinya pembangkangan hakiki dari konsep politik Islam.

Apakah Islam menginginkan agar Negara Islam ditegakkan? Pada paruh tahun 80-an pernah muncul polemik di sekitar pandangan bahwa di dalam Al-Qur'an tidak ada istilah Negara Islam.

Dr. M. Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah adalah yang pertama-tama mengangkat masalah tersebut. Dan 18 tahun kemudian, 1998, Amien Rais menjadi pemimpin Partai Amanat Nasional setelah mengundurkan diri dari kepemimpinan Muhammadiyah.

Sikap dan pemikiran politik Amien Rais sekarang, agaknya merupakan kelanjutan dari pernyataannya itu. Artinya, pada era reformasi sekarang ini, Amien Rais menemukan momentum yang tepat untuk melaksanakan gagasannya yang tidak menghendaki berdirinya negara Islam. Melalui PAN (Partai Amanat Nasional), sebuah partai baru yang merupakan kumpulan manusia Indonesia yang berasal dari berbagai keyakinan, pemikiran, latar belakang etnis, suku, agama dan gender. Partai ini menganut prinsip non sektarian dan nondiskriminatif (Majalah Ummat, 12 Agustus 1998).

Apakah Islam menginginkan agar negara Islam ditegakkan? Sudah pasti Islam menginginkannya. Sebab missi Islam sangat jelas. Islam menghendaki, agar apa yang dipandang baik harus terjadi dan dilaksanakan. Dan apa yang dipandang buruk harus lenyap dan dihindari. Hal itu tidak mungkin bisa terpenuhi selama ummat Islam berada di bawah cengkraman penguasa di sebuah negara yang tidak menghendaki berlakunya syari'at Islam.

Adanya pandangan, bahwa kaum muslimin bisa saja membangun masyarakat yang Islami di dalam negara yang bukan negara Islam, seperti slogan salah satu partai Islam: "Kita menghendaki negara yang Islami bukan negara Islam", hanyalah angan-angan, ibarat membangun rumah laba-laba, atau bagai membangun runah di atas lumpur. Hal ini harus disadari sepenuhnya oleh tokoh-tokoh organisasi Islam.

Bahwa mengharapkan terlaksananya ajaran Islam secara kaffah di dalam negara yang menggunakan sistem non Islam adalah sesuatu yang absurd.
  • Bagaimanakah gambaran sebuah negara yang Islami di dalam negara yang bukan negara Islam?
  • Apakah ada contohnya di zaman Rasulullah, para khalifah atau di zaman kita sekarang ini?
Jika memang ada, alangkah bagusnya misalnya, lahir Indonesia Baru berdasarkan Pancasila dan hukum yang berlaku adalah hukum Islam.

Dapatkah konsep semacam ini direalisasikan?

Kenyataannya, selama bertahun-tahun di bawah rezim Soekarno, kemudian 32 tahun berada di bawah rezim Soeharto, kaum muslimin bagai menanam pohon di pekarangan milik orang lain: hanya mengerjakan program yang dibuat pihak lain.

Dan orang lain itu adalah mereka yang tidak menghendaki berlakunya syari'at Islam. Di era reformasi ini, apakah umat Islam tidak berfikir dan menyusun program, bagimana membangun Indonesia baru yang berlandaskan Islam?

Apabila tokoh-tokoh Islam kini belum juga menyadari kenyataan ini, maka hakekatnya merekalah sesungguhnya yang ikut mempercepat missi de-Islamisasi dan penyempitan terhadap ruang gerak Islam di negeri ini.

Tanpa adanya negara dan kekuasaan Islam, bagaimana kita dapat merealisasikan firman Allah:

"Dan katakanlah:Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap". (Al-Isra',17:81).

Adanya kewajiban umat Islam untuk mendirikan Negara Islam, telah dibahas secara panjang lebar oleh Prof. Dr. M. Yusuf Musa, MA dalam bukunya "Nidhamul Hukmi fil Islam".

Terhadap pertanyaan, apakah Islam mewajibkan berdirinya Negara Islam, Dr. M. Yusuf Musa menjawab: "Islam telah membawa ketentuan syari'at yang menjadi tuntunan otomatis bagi kepentingan terwujudnya satu ummat dan negara berdasarkan prinsip-prinsip yang rasional dan memenuhi kebutuhan masyarakat manapun pada setiap zaman dan tempat."

Ciri khusus dari dienul Islam ialah, missinya yang bersifat abadi dan universal, missi yang Allah jadikan sebagai penutup seluruh missi Ilahiyah kepada manusia. Karenanya, Islam merupakan agama universal mencakup semua manusia yang berbeda kebangsaan, golongan dan warna kulitnya, sampai saatnya jagad ini diwarisi oleh Allah (kiamat).

Yusuf Musa selanjutnya mengatakan : "Memang bukanlah suatu keharusan untuk mengakui bahwa bangsa Arab Islam dahulu, sekalipun pada kurun awalnya telah ada sebuah negara yang melaksanakan dan memperhatikan serta mengurus kepentingan ummat sesuai dengan syari'at Allah dan rasul-Nya. Dan memang, tidak kita dapati secara definitif di dalam Al-Qur'an dan sunnah yang shahih kaedah-kaedah umum yang menjadi landasan tatanan pemerintahan dalam Islam..." "…Akan tetapi dengan mengambil kesimpulan dari perilaku Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah yang telah menjadikan negeri itu tanah air bagi mereka untuk selamanya, maka menjadi sempurnalah langkah bangsa Arab dan kaum muslimin dalam menegakkan sebuah negara yang memiliki segala unsur dan pilar-pilarnya, sebuah negara yang oleh Al-Qur'an dan sunnah Rasul diisyaratkan kewajiban untuk menegakkannya. Dan hal ini sesuai dengan definisi tata negara tentang negara itu sendiri.

Sebuah negara yang memiliki pemimpin yang dipatuhi oleh seluruh kaum muslimin yang berbeda asal-usul, bangsa, dan warna kulitnya". (Hal. 24-26). Islam mendidik manusia supaya bersih jiwanya, sehat pikirannya, cerdas akalnya, luas wawasan ilmunya dan kuat jasmaninya, "Basthatam fil ilmi wal jismi".

Tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi tanpa adanya sebuah negara dan pemerintahan yang eksistensinya tegak di atas dasar-dasar Islam? Jawaban bagi pertanyaan di atas adalah, Islam yang agung telah mewajibkan kepada para pemeluknya untuk menjadi pemimpin di negaranya dan penguasa di bumi manapun mereka tinggal. Mereka harus mendakwahkan Islam, mengajak orang lain untuk masuk ke dalam Islam, hidup menurut ajaran al-Qur'an dan merasa tenang di bawah naungan petunjuk-Nya.

Ummat muslim sesungguhnya memiliki potensi untuk memimpin bangsa dan ummat ini, asalkan mereka tetap melangkah dengan mantap menuju tujuan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, dan bukan tujuan yang ditetapkan manusia berdasarkan hawa nafsunya. Bahwa ummat Islam harus memiliki negara, tempat atau wadah bagi dilaksanakannya syari'at yang mustahil dilakukan di dalam sebuah negara yang bukan negara Islam, harus ditumbuhkan ke dalam hati setiap orang yang mengaku dirinya muslim.

Untuk selanjutnya, ummat Islam di seluruh dunia berjuang mengembalikan sistem kekhalifahan yang telah dihancurkan oleh musuh-musuhnya.

Negara Islam hanyalah basis awal untuk mencapai tujuan yang lebih spesifik dan mendunia, yaitu tegaknya Khilafah Islamiyah.

Dalam pengertian inilah barangkali, yang menyebabkan Syarikat Islam (SI) di bawah komando HOS Cokroaminoto memilih jalan non kooperatif dan dengan tegar menjalankan politik hijrah sebagai strategi perjuangannya sejak tahun 1923.

Dan akibat paling menakjubkan dari sepak terjang tokoh ini, khususnya bagi regenerasi Islam adalah lahirnya kekuatan melawan imperalisme dan kolonialisme. Sikap yang ditunjukkannya seperti yang kemudian tertuang di dalam anggaran dasar partai adalah berjuang, "Menuju Kemerdekaan Kebang-saan Berdasarkan Agama Islam."

Tidaklah mengherankan, jika kemudian prinsip demikian itu mempengaruhi paradigma berpikir, pandangan hidup maupun perilaku politik SM Kartosuwiryo, mengingat bahwa dia adalah murid, sekretaris pribadi serta pengagum politik Islamisme (Islam sebagai ideologi) HOS Cokroaminoto.

Fiqih Daulah - Dr. Yusuf Qardhawi

FIQIH DAULAH DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN SUNNAH

Oleh Dr Yusuf al-Qardhawy

1. KEDUDUKAN DAULAH MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

Imperialis barat yang menguasai masyarakat Muslim mampu menanamkan satu pemikiran yang aneh dan menjijikkan di dalam akal dan jiwa mereka, bahwa Islam adalah agama dan bukan daulah. Agama itu sendiri menurut pengertian barat, bagaimana mereka mengertikan agama. Urusan daulah tidak ada kaitannya dengan agama. Hal ini merupakan produk akal atau hawa nafsu manusia semata, sesuai dengan pengalaman dan keadaan di sekitarnya.

Apa yang terjadi terhadap agama Nasrani di Barat hendak mereka terapkan terhadap Islam di Timur. Kebangkitan di sana tidak tercipta kecuali setelah membebaskan diri dari kekuasaan agama, maka begitu pula yang harus terjadi di negara kita di dunia timur, Arab dan Islam, kita harus menyingkirkan agama.

Pengertian agama di sana adalah Gereja, kekuasaan Biskop, para paderi dan pastor yang hanya berkaitan dengan urusan perasaan dan rohani. Agama macam apa jika dibandingkan dengan agama di sini, yang di dalamnya tidak ada para paderi, pastor dan keterbatasan pada urusan perasaan dan rohani semata?

Apa pun yang terjadi, imperialis Barat telah berhasil menciptakan sekian banyak golongan yang percaya bahawa agama tidak mempunyai tempat untuk mengarahkan dan mengatur daulah, bahawa agama berdiri sendiri dan pemerintahan berdiri sendiri. Hal ini terjadi pada Islam, sebagaimana yang terjadi pada Nasrani. Di antara slogan menyesatkan yang banyak beredar, "Agama adalah milik Allah dan negara adalah milik semua orang." Ini perkataan yang benar, namun diertikan secara batil. Padahal slogan ini boleh dibolak-balik dari segala sudut sehingga dapat kita katakan, "Agama adalah milik Allah, begitu pula negara." Dengan kata lain, agama adalah milik semua orang, begitu pula negara. Atau, agama adalah milik semua orang dan negara adalah milik Allah.

Perkataan mereka, "Agama adalah milik Allah," maksudnya agama ini hanya sekadar hubungan manusia dengan Allah, sehingga agama ini tidak mempunyai tempat untuk mentadbir kehidupan dan masyarakat.

Contoh praktikal yang paling nyata dari hal ini adalah Daulah Ilmaniyah (pemerintahan sekular) yang didirikan Kamal Attaturk di Turki, yang dipaksakan dengan menggunakan tangan besi, api dan darah terhadap semua rakyat Turki yang beragama Islam, setelah menguburkan khilafah Uthmaniyah, yang pada hakikatnya merupakan benteng politik terakhir bagi Islam, setelah sekian abad bergelut melawan Salibisme dan Zionisme Antarabangsa.

Kemudian pemerintahan lain di dunia Islam meniru Turki yang baru, dengan kadar yang berbeja-beja, sehingga Islam disingkirkan dari hukum dan perundangannya mengenai masalah tindak pidana (jinayah) dan perdata (pengadilan) serta lain-lainnya. Akhirnya Islam hanya dibatasi pada "keadaan individual". Islam juga disingkirkan agar tidak ikut campur dan mempengaruhi pengajaran, pendidikan dan masalah-masalah sosial, kecuali dalam hal-hal yang remeh. Tapi untuk tuntunan dari Barat, pendidikan dan tradisi ala Barat, pintu dibukakan selebar-lebarnya.

Para pemimpin politik dunia Arab tidak berhenti terpesona terhadap trend Attaturk. Sehingga ada seorang pemimpin partai yang cukup terkenal di Mesir, dan sekaligus Perdana Menteri pada saat itu, menegaskan hal ini dengan berkata, "Saya benar-benar memuji terhadap pemikiran dan pemahaman Attaturk tentang daulah yang modern." Kemudian Asy-Syahid Hasan Al-Banna membidas ucapannya ini dan diterbitkan di harian Al-Ikhwanul-Muslimun.

Di antara fenomena kejayaan invasi intelektual yang dilancarkan dunia Barat, bahwa pemikiran sekularisme yang menyusup dan yang menyerukan pemisahan agama dan daulah, tidak hanya terhadap di kalangan orang-orang "Moden", tetapi juga menyusup ke sebahagian orang yang menekuni bidang-bidang studi agama di universiti Islam yang sudah mengakar, seperti Al-Azhar, sebagai contoh boleh dilihat dalam buku karangan Syaikh Ali Abdurrazaq, Al-Islam Wa Ushulul-Hukmi (Islam dan Prinsip-prinsip Hukum).

Secara jujur dapat kami katakan, buku ini telah menggemparkan masyarakat secara luas dan Al-Azhar secara khusus pada saat terbitnya. Bahkan kemudian dibentuk satu jawatankuasa khusus yang ahlinya terdiri dari para ulama Al-Azhar terkemuka, untuk mengadili pengarangnya. Akhirnya diputuskan pencabutan gelar akademiknya dan dia dikeluarkan dari barisan para ulama. Hampir semua ulama dan para pemikir juga menyampaikan bantahan terhadap tulisannya itu, baik dari kalangan Al-Azhar mahupun diluar Al-Azhar[1].


Jadi harus ada sikap tegas dalam menghadapi sekularisme dan para juru cakapnya, dengan cara menegaskan universaliti Islam serta mengupas secara jelas sisi yang hidup ini dari segi hukum dan pengajarannya, yaitu sisi daulah, penataan dan pengarahannya, dengan segala hukum dan adab-adabnya. Harus ditegaskan pula bahwa masalah ini merupakan bahagian yang tidak boleh dipisahkan dari tatanan (sistem) Islam, yang menonjol kerana pencakupannya untuk semua zaman, tempat dan manusia, yang Kitabnya turun menjelaskan segala sesuatu, sebagaimana firman Allah (yang bermaksud):

"Dan, Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (An-Nahl :89)[2]

Dalil dari Nas Islam

Ini bukan merupakan inovasi yang berasal dari harakah Islam, para pendiri dan penyerunya, tetapi inilah yang memang dinyatakan nas Islam yang nyata, yang terjadi dalam sejarah dan memang begitulah tabiat dakwahnya.

Tentang nas Islam, kita cukupkan pada dua ayat dari Surah An-Nisa`(yang bermaksud):

"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul-(Nya) dan ulil-amri di antara kalian." (An-Nisa`: 58-59)

Seruan dalam ayat pertama (58) ditujukan kepada para ulil-amri dan penguasa, agar mereka memperhatikan amanat dan menetapkan hukum secara adil. Mengsia-siakan amanat dan keadilan merupakan ancaman yang ditandai dengan kehancuran umat dan negara. Di dalam As-Sahih disebutkan (yang bermaksud):

"Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Ada yang bertanya: Bagaimana mengsia-siakannya? Baginda menjawab: Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Sedangkan seruan dalam ayat kedua (59) ditujukan kepada rakyat yang Mukmin, bahwa mereka harus taat kepada "Ulil-amri". Tetapi dengan syarat, ketaatan ini dilakukan setelah ada ketaatan (sebahagian di antara ulil-amri) kepada Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, ada pula perintah untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya jika terjadi silang pendapat, atau kepada Al-Qur`an dan Sunnah. Hal ini mengharuskan orang-orang Muslim memiliki daulah yang ditaati. Jika tidak, urusan ini pun menjadi sia-sia.

Dengan mengkaji dua ayat ini saja, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyh mengarang bukunya yang terkenal, As-Siyasah Asy-Syar`iyah Fi Ishalhir-Ra`y War-Ra`iyyah. Semua bahagian dalam buku ini merujuk kepada dua ayat yang mulia tersebut.

Jika kita beralih ke Sunnah, maka kita melihat Rasulullah s.a.w bersabda (yang bermaksud):

"Barangsiapa mati dan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati dengan kematian Jahiliyah." (Diriwayatkan Muslim).

Tidak dapat diragukan, orang Muslim diharamkan berbaiat kepada penguasa mana pun yang tidak komited terhadap Islam. Baiat yang membebaskannya dari dosa adalah baiat terhadap orang yang berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Jika tidak ada, maka semua orang Muslim berdosa hingga ada penerapan hukum Islam, sehingga ada pula baiat yang dituntut itu.

Di sana ada berpuluh-puluh hadist sahih yang membicarakan masalah khilafah, imarah, pengadilan, para pemimpin, sifat-sifat pemimpin, hak-hak mereka untuk membantu setiap kebajikan, nasihat bagi mereka, taat kepada mereka dalam keadaan apa pun, sabar menghadapi kekurangan mereka, batasan-batasan kesabaran ini, batasan kewajiban mereka menegakkan hukum Allah, memperhatikan hak-hak rakyat, meminta pendapat para penasihat, melantik orang-orang yang kuat dan dapat dipercayai, mengambil orang-orang yang salih sebagai bawahan, keharusan menegakkan solat, mengeluarkan zakat, menyuruh kepada makruf, mencegah dan yang mungkar dan lain-lainnya dari pelbagai masalah daulah, hukum dan pemerintahan.

Oleh karena itu kita boleh melihat masalah khilafah dan kepimpinan disebutkan dalam buku-buku akidah dan dasar-dasar agama, seperti yang juga kita lihat dalam buku-buku fiqih. Di sana kita melihat ada buku-buku khusus tentang masalah daulah, dalam kaitannya dengan perundangan, hukum, ekonomi, politik, seperti buku Al-Ahkamus Sultaniyah, karangan Al-Mawardy. Buku lain yang serupa dengan ini juga dikarang Abu Ya`la. Ada pula buku Al-Ghiyathy karangan Imamul-Haramain, As-Siyasah Asy-Syar`iyah karangan Ibnu Taimiyah, Tahrirul-Ahkam karangan Ibnu Jama`ah, Al-Kharraj karangan Abu Yusuf, buku yang serupa juga dikarang Yahya bin Adam, karangan Abu Ubaid, dan buku serupa juga karangan Ibnu Zanjawaih, dan lain-lain yang sengaja sebagai rujukan bagi pakar hukum, seperti buku At-Turuqul-Hukmiyah, Mu`inul-Hukkam dan lain-lain.

Bukti Sejarah Islam

Sejarah Islam telah mengungkapkan kepada kita bahwa Rasulullah s.a.w telah berusaha sedaya upaya dengan mengerahkan kekuatan dan fikiran, yang dibantu hidayah wahyu, untuk mendirikan daulah Islam dan negara bagi dakwah baginda serta penyelamatan para pengikut baginda. Tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan atas mereka kecuali kekuasaan syariat. Oleh karena itu baginda sendiri yang mendatangi pelbagai kabilah, agar mereka beriman kepada baginda, mendukung dan ikut menjaga dakwah baginda, hingga akhirnya Allah menganugerahkan "Ansar" dari kalangan Aus dan Khazraj, yang beriman kepada risalah baginda. Tatkala Islam mulai menyebar di kalangan mereka, maka pada musim haji datang utusan dari mereka, yang terdiri dari tujuh puluh tiga orang lelaki dan dua wanita, lalu mereka berbaiat kepada baginda, menyatakan kesediaan untuk melindungi baginda sepertimana mereka melindungi diri sendiri, isteri dan anak-anak mereka, siap untuk tunduk dan taat, memerintahkan kepada yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar dan seterusnya. Mereka menyatakan baiat atas semua itu, hingga hijrah ke Madinah hanya sekadar sebagai upaya untuk membina masyarakat Islam yang berdaulat, dengan daulah Islam yang juga berdiri sendiri.

Madinah menjadi "Darul-Islam" (Negeri Islam) dan tapak daulah Islam yang baru, yang dipimpin langsung oleh Rasulullah s.a.w. Baginda menjadi pemimpin tertinggi kaum Muslimin dan pemimpin mereka, sepertimana baginda menjadi nabi dan rasul Allah yang diutus kepada mereka.

Bergabung ke dalam Daulah Islam untuk mendukung kekuatannya, hidup di bawah lindungannya dan berjihad di bawah panjinya merupakan keharusan bagi sesiapa pun yang masuk Islam saat ini. Imannya belum dianggap sempurna kecuali jika dia ikut hijrah ke dalam Daulah Islam dan keluar dari wilayah orang-orang kafir dan orang-orang yang memusuhi Islam. Imannya belum dianggap sempurna kecuali setelah dia ikut dalam barisan jemaah orang-orang mukmin yang berjihad dan yang menjadi sasaran serangan seluruh dunia saat itu. Allah berfirman (yang bermaksud):

"Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajipan sedikit pun atas kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah." (Al-Anfal: 72)

Allah juga berfirman tentang keadaan orang-orang yang tidak berhijrah ini (yang bermaksud):

"Maka janganlah kalian jadikan di antara mereka penolong-penolong (kalian), hingga mereka berhijrah kepada jalan Allah." (An-Nisa`: 89)[3]

Ayat-ayat Al-Qur`an juga diturunkan, memberikan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang lebih suka memilih hidup di wilayah orang-orang kafir dan wilayah perang, tanpa mau mendukung penegakan agama dan melaksanakan kewajipan serta syairnya:

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: Dalam keadaan bagaimana kalian ini? Mereka menjawab: Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah / jahiliyah). Para malaikat bertanya: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik lelaki atau wanita atau kanak-kanak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan, adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (An-Nisa`: 97-99)

Tatkala Rasulullah s.a.w wafat, pertama kali yang menyibukkan para sahabat adalah pemilihan "Pemimpin" bagi mereka. Bahkan mereka lebih mengutamakan urusan ini daripada penguburan jasad baginda. Maka mereka terus berbaiat kepada Abu Bakar dan menyerahkan urusan mereka kepadanya. Begitu pula yang terjadi pada setiap dekad setelah ini. Dengan adanya ijma` sejarah ini, yang dimulai dari era sahabat dan tabi`in, para ulama Islam menggunakannya sebagai dalil tentang kewajipan mengangkat pemimpin, yang menjadi simbol terpenting dari kewujudan daulah Islam.

Sepanjang sejarahnya, orang-orang Muslim tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan daulah, kecuali setelah muncul era sekularisme pada zaman sekarang, yang justru inilah Rasulullah s.a.w pernah memperingatkannya dan memerintahkan untuk melawannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Mu`adz (yang bermaksud):

"Ketahuilah, sesungguhnya bulatan penggilingan Islam terus berputar. Maka putarlah ia bersama Islam seperti apa pun ia berputar. Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur`an dan pemimpin itu (agama dan daulah) akan saling berpisah, maka janganlah kalian berpisah dengan Al-Kitab. Ketahuilah, kalian akan dipimpin para penguasa yang menetapkan hukum untuk dirinya tidak seperti ketetapan hukum untuk kalian. Jika kalian membangkang, nescaya mereka akan menghabisi kalian, dan jika kalian patuh, nescaya, mereka akan menyesatkan kalian. Mereka bertanya: Lalu apa yang akan terjadi pada diri kita wahai Rasulullah? Baginda menjawab: Seperti yang terjadi pada rekan-rekan Isa bin Maryam, mereka digergaji dan disalib di atas kayu. Mati dalam ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kederhakaan kepada Allah"[4]

PEJUANG ISLAM

Benarkah engkau seorang pejuang? Mengaku diri sebagai pejuang, sebagai jundullah, sebagai aktivis, namun akhlak maupun tsaqafahnya tidak mencerminkan hal itu. Mengaku diri sebagai mujahid, namun niat ternoda oleh selain-Nya. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sindir di dalam Al Qur’an :


“Apakah kamu mengira kamu akan dibiarkan saja mengatakan ‘kami beriman’ sedang mereka tidak di uji lagi?” (QS. Al Ankaabut: 2-3)


Sang Pejuang Sejati


Masing-masing kita sebaiknya mengevaluasi diri, apakah kita memang sudah benar-benar menjadi pejuang di jalan-Nya atau jangan-jangan, baru sebatas khayalan dan angan-angan kosong belaka. Inginkan syurga, tetapi tidak siap menggadaikan diri, harta dan jiwa.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. 3:142).

Ya,,, kita mengira akan masuk surga dengan pegorbanan yang sedikit, seakan ingin menyamakan diri dengan hukum ekonomi kapitalis, “Mendapatkan output yang sebesar-besarnya, semaksimal mungkin, dengan input yang seminimal mungkin.”

Aduhai,, sesungguhnya hari akhir itu adalah perkara yang besar. Dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi itu, sangat mahal harganya. Rasulullah SAW bersabda :

“Generasi awal sukses karena zuhud dan teguhnya keyakinan, sedang ummat terakhir hancur karena kikir dan banyak berangan muluk kepada Allah.”

Saat nasyid-nasyid perjuangan dilantunkan, gemuruh di dalam dada menjadi berkobar-kobar untuk berjuang. Tetapi sayang, ternyata hanya tersimpan di dalam dada dan semangat itu ikut surut seiring dengan berakhirnya lantunan nasyid. Tidak keluar dalam amaliyah yang nyata.

Demi Allah, keimanan bukanlah dilihat dari yang paling keras teriakan takbirnya, bukan pula dari yang paling deras air matanya kala muhasabah, dan bukan pula dari yang paling ekspresif menunjukkan kemarahan kala melihat Israel menyerang Palestina. Bukan pula dari yang paling banyak simbol-simbol keagamaannya. Karena itu semua hanya sesaat.

Sesungguhnya keistiqomahan dalam berjuang, itulah indikasi keimanan sang pejuang yang sebenarnya. Pejuang yang sabar menapaki hari-hari dengan mengibarkan panji Illahi Rabbi. Yang selalu bermujahadah mengamalkan Al Qur’an. Teguh pendirian. Tak kenal henti. Hingga terminal akhir, syurga.

Pengorbanan

Apakah dengan memakai sedikit waktu untuk berda’wah, sudah menganggap diri telah melakukan totalitas perjuangan? Padahal para nabi tidaklah menjadikan da’wah ini hanya sekedarnya saja, tetapi sebagaimana dicantumkan dalam Surat Nuh ayat 5 :

“….Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam.”


Pun dalam surat Al Muzzamil,
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Rabbmu agungkanlah.”

Sejak ayat itu turun, sang nabi akhir zaman selalu siaga dalam kehidupan. Bahkan, hingga menjelang ajalnya, Rasulullah tengah menyiapkan peperangan untuk menegakkan Al Haq.

Sang pejuang, tetapi makanannya adalah sebaik-baik makanan, dan pakaiannya adalah sebaik-baik pakaian. Dan dengan tanpa rasa berdosa, asyik menonton sinetron-sinetron cinta dan acara gosip, mendengar lagu-lagu cinta, berghibah, perut kenyang, banyak tidur, dan mengabaikan waktu, lalu berharap mendapatkan syurga? Sangatlah jauh, bagaikan pungguk merindukan rembulan.

Alangkah berbedanya dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Mush’ab bin Umair dan para sahabat yang lainnya. Yang setelah mendapatkan hidayah, mereka justru menjauhi kemewahan hidup. Mereka mampu secara ekonomi, tetapi mereka tidak rela menikmati dunia yang melalaikan.

Seorang pejuang harus memahami jalan mendaki yang akan dilaluinya. Sang Nabi tak pernah tertawa keras apatah lagi terbahak-bahak. Dan hal itu dikarenakan keimanan yang tinggi akan adanya hari akhir, akan adanya syurga dan neraka. Ada amanah da’wah yang besar di pundaknya, lantas bagaimana mungkin seorang pejuang akan banyak bercanda? Imam Hasan Al Banna memasukkan “keseriusan” atau tidak banyak bergurau sebagai bahagian dari 10 wasiatnya. Dan dikisahkan pula bahwa Sholahuddin Al Ayyubi tak pernah tertawa karena Palestina belum terbebaskan.

Keringnya suasana ruhiyah di lingkungan kita, bisa jadi karena di antara kita -saat di luar halaqah- jarang saling bertaushiyah tentang hari akhir. Bahkan sungguh aneh, dapat tertawa dan tidak menyimak ketika Al Qur’an dibacakan di dalam pembukaan ta’lim. Atau saat kaset murottal diputar, mengobrol tak mengindahkan. Yang mengindikasikan bahwa Al Qur’an itu baru sampai di tenggorokan saja.

“Akan tiba suatu masa dalam ummat ketika orang membaca Al Qur’an, namun hanya sebatas tenggorokannya saja (tidak masuk ke dalam hatinya).” (HR. Muslim).

Dimanakah air mata keimanan? Ya Rabbi., ampunilah kelemahan kami dalam menggusung panji-Mu.

Kederisasi generasi sebaiknya tidak melulu tentang pergerakan dan mengabaikan aspek keimanan. Keimanan harus senantiasa dihembuskan dimana saja karena ia adalah motor penggerak yang hakiki. Iman adalah akar.

20 Muwashofat Sang Pejuang

Setidaknya, ada 20 kriteria yang harus dimiliki pejuang, yang disarikan dari Al Qur’an dan hadits, yaitu :

1. Aqidahnya bersih (saliimul ‘aqiidah)
2. Akhlaknya solid (Matiinul khuluqi)
3. Ibadahnya benar (Shohiihul I’baadah)
4. Tubuhnya sehat dan kuat (Qowiyyul jismi)
5. Pikirannya intelek (Mutsaqqoful fikri)
6. Jiwanya bersungguh-sungguh (Mujaahadatun nafsi)
7. Mampu berusaha mencari nafkah (Qaadiirun ‘alal kasbi)
8. Efisien dalam memanfaatkan waktu (Hariisun ‘alal waqti)
9. Bermanfaat bagi orang lain (Naafi’un lighoirihi)
10. Selalu menghindari perkara yang samar-samar (Ba’iidun ‘anisy syubuhat)
11. Senantiasa menjaga dan memelihara lisan (Hifdzul lisaan)
12. Selalu istiqomah dalam kebenaran (istiqoomatun filhaqqi)
13. Senantiasa menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan (Gaddhul bashor wahifdul hurumat)
14. Lemah lembut dan suka memaafkan (Latiifun wahubbul ‘afwi)
15. Benar, jujur dan tegas (Al Haq, Al-amanah-wasyja’ah)
16. Selalu yakin dalam tindakan (Mutayaqqinun fil’amal)
17. Rendah hati (Tawadhu’)
18. Berpikir positif dan membangun (Al-fikru wal-bina’)
19. Senantiasa siap menolong (Mutanaashirun lighoirihi)
20. Bersikap keras terhadap orang-orang kafir (Asysyidda’u ‘alal kuffar)

Penutup

Menjadi pejuang, hendaknya bukanlah angan-angan kita belaka. Menjadi pejuang, memiliki kriteria (muwashofat) yang harus di penuhi. Jangan sampai kita terkena hadits ini, “Akan datang suatu masa untuk ummatku ketika tidak lagi tersisa dari Al Qur’an kecuali mushafnya dan tidak tersisa Islam kecuali namanya dan mereka tetap saja menyebut diri mereka dengan nama ini meskipun mereka adalah orang yang terjauh darinya.” (Ibnu Babuya, Tsawab ul-A mal).

Pejuang di jalan-Nya hendaknya bukan dari kacamata kita, tetapi dari kacamata Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alangkah ruginya bila kita menganggap diri sebagai pejuang, padahal dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita tak ada apa-apanya. Maka, bersama-sama kita memuhasabahi diri, agar cinta kita kepada-Nya bukan hanya angan semata, agar cinta kita tak bertepuk sebelah tangan. Karena pembuktian cinta haruslah mengikuti dengan keinginan yang dicinta. Jika tidak, maka patut dipertanyakan kebenaran cintanya itu. Cinta sejati, tidak hanya dimulut dan disimpan di dalam dada saja, tetapi harus dibuktikan, agar sang kekasih percaya bahwa kita mencintainya. Kita mencintai-Nya dan Dia pun mencintai kita.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya..” (QS. Al Maidah : 54 - 56).
___________________
PRO Madinah 1949



______________4jjl_4jjl_4jjl_______________


APAKAH BENAR ENGKAU SEORANG PEJUANG ?

Oleh: Qathrunnada

Engkau ingin berjuang, tapi tidak mampu menerima ujian
Engkau ingin berjuang, tapi rusak oleh pujian
Engkau ingin berjuang, tapi tidak sepenuhnya menerima pimpinan

Engkau ingin berjuang, tapi tidak begitu setia kawan
Engkau ingin berjuang, tapi tidak sanggup berkorban
Engkau ingin berjuang, tapi ingin jadi pemimpin
Engkau ingin berjuang, menjadi pengikut agar disegani

Engkau ingin berjuang, tolak ansur engkau tidak amalkan
Engkau ingin berjuang, tapi tidak sanggup menerima cabaran
Engkau ingin berjuang, kesehatan dan kerehatan tidak sanggup engkau korbankan

Engkau ingin berjuang, masa tidak sanggup engkau luangkan
Engkau ingin berjuang, karena istri tidak kau tahan
Engkau ingin berjuang, rumah tangga lintang pukang
Engkau ingin berjuang, diri engkau tidak engkau tingkatkan

Engkau ingin berjuang, disiplin diri engkau abaikan
Engkau ingin berjuang, janji kurang engkau tunaikan
Engkau ingin berjuang, kasih sayang engkau cuaikan
Engkau ingin berjuang, akhlakmu engkau abaikan

Engkau ingin berjuang, anak istri engkau lupakan
Engkau ingin berjuang, ilmu berjuang engkau tinggalkan
Engkau ingin berjuang, kekasaran dan kekerasan engkau amalkan

Engkau ingin berjuang, pandangan engkau tidak diselaraskan
Engkau ingin berjuang, rasa bertuhan engkau abaikan
Engkau ingin berjuang, iman dan taqwa engkau lupakan

Yang…. Sebenarnya apa yang engkau hendak perjuangkan….?????

Kewajiban Berjamaah di Dalam Dienul Islam

Oleh: Ustadz Abul Hasan

Setelah Hancurnya Kekhilafahan Turki Usmani, 3 Maret 1924, Kaum Muslimin di seluruh dunia menjadi lemah dan terpecah. Mengapakah Harokah Islamiyah yang ada sekarang belum juga mau bersatu, membangun kembali bangunan yang telah diruntuhkan oleh musuh itu? Pertanyaan ini sebenarnya sudah Out of Date, sudah ketinggalan zaman. Sebab jawabannya sudah tersedia dalam Al Quran. Yaitu karena setiap Harokah Islam sudah merasa benar dengan langkah yang ditempuhnya, lalu merasa bangga karenanya. Maka pertanyaan yang paling essensial untuk ditanyakan : “Dengan alasan apakah, masing-masing Harokah Islam yang ada sekarang membenarkan sikap untuk tidak bersatu?

Dewasa ini, Ummat Islam yang gemar membaca buku atau majalah Islam, walaupun barang kali masih jarang membaca Al Quran atau Hadist Nabi Saw. Apalagi meraka yang sudah terbiasa memperhatikan makna ayat-ayat Al Quran dan menghayati isinya, tentu tidak kaget lagi bila kepadanya dikatakan, bahwa berjamaah bagi kaum muslimin merupakan kewajiban Islami. Sebab dalil-dalil Al Quran maupun Hadist cukup banyak menerangkan hal tersebut, sehingga seluruh ulama dari zaman ke zaman secara ijmak menyepakati bahwa berjamaah itu wajib hukumnya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini tidak akan dipaparkan secara detail dalil-dalil yang mewajibkannya itu, termasuk juga pendapat para ulama, tidak akan dibahas secara mendalam.

Apabila kewajiban berjamaah ini telah difahami oleh kaum muslimin. Persoalannya sekarang: Apakah kaum muslimin telah bersatu di dalam satu jamaah Islam ataukah sebaliknya, terpecah menjadi banyak jamaah dari orang-orang Islam ?

Sekiranya jawabannya adalah: “Ya. Alhamdulillah telah bersatu di dalam ikatan tali Jamaah muslimin”, maka artinya mereka telah memenuhi kewajibannya dalam urusan tersebut. Akan tetapi jika jawabannya belum, maka kewajibannya adalah menemukan adanya jamaah muslimin itu, lalu mendaftarkan diri sebagai warganya atau ummatnya. Selanjutnya berjihad didalamnya dalam rangka melakukan taat kepada Allah Swt, taat kepada Rasul-nya, Ulil Amri dari orang-orang yang beriman, Sebagaimana difirmankan Allah di dalam Surat An-Nisa Ayat 59 :

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-nya, dan kepada Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasulnya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih bauk akibatnya”.

Allah Swt, telah mewajibkan orang-orang beriman untuk taat kepada Rasulnya dan Ulil Amri diantara mereka. Oleh karena itu, mereka yang benar-benar beriman, apabila ditanya, apakah dia sudah mempunyai Ulil Amri? Tidak mungkin akan menjawab: “Saya tidak memerlukan Ulil Amri”. Tidak mungkin dia berkata walau di dalam hati, “-Mengapa Allah memerintahkan kita mentaati sesuatu yang tidak ada?” Nah, Siapakah Ulil Amri anda? Jawabannya yang benar, tentu saja yang dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wajib Bersatu dan Haram Berpecah

Perintah berjamaah, dimaksudkan agar kaum muslimin tetap utuh dalam satu kesatuan ummah. Supaya terhindar dari kemungkinan timbulnya firqah-firqah yang akan memecah belah kesatuan ummat Islam, menghancurkan serta memporak-porandakan keutuhan jamaah. Karena sesungguhnya, setiap bentuk perpecahan di kalangan ummat Islam telah diancam oleh Allah, sebagaimana tertera di dalam Al Quran:

“…dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan meraka”. (QS.30:31-32)

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada apa yang telah mereka perbuat”. ( QS.6:159 )

Masih banyak ayat-ayat Al Quran yang mengharamkan berpecah dan berbantahan yang mengakibatkan hilangnya kekuatan. Menegakkan Dien Islam selamanya tidak akan sukses jika masih terdapat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Selanjutnya silahkan baca Al Quran Surat 6 :46 dan 42:13.

Perpecahan yang diharamkan Allah dalam banyak ayat di atas, adalah perpecahan sebagai akibat dari banyaknya jamaah-jamaah minal muslimin yang masing-masing merasa benar dan bangga dengan golongannya. Mereka tidak sudi bersatu menjadi satu jamaah di bawah satu Imamah, untuk hidup bersama-sama menjalankan Syariat Islam. Dan diantara jamaah-jamaah dari kaum muslimin, yang banyak kita saksikan sekarang barang kali ada juga yang tidak menghendaki tafarruq. Lalu berusaha mempersatukan ummat, dengan alasan belum wujudnya jamaah bagi keseluruhan kaum muslimin di bawah kepemimpinan seorang imam atau khalifah mereka. Jika perkiraan itu benar, maka jamaah minal muslimin yang sadar dan tulus, itulah yang berkewajiban menyatakan diri sebagai jamaah ummat Islam dengan keberanian memproklamirkan kekhilafahan (Daulah) di wilayah kekuasaannya.

Apabila ternyata di antara jamaah minal muslimin tidak sanggup berbuat demikian, itu artinya belum lahir jamaah yang melingkupi keseluruhan kaum muslimin di muka bumi atau khususnya bumi persada ini. Dan keadaan demikian merupakan fitnah yang besar atas seluruh ummat Islam. Pada gilirannya akan membawa akibat yang lebih fatal, tidak terlaksananya Syariat Islam di dalam kehidupan mereka. Sementara mereka tetap takluk di bawah genggaman kekuasaan non Islami, lengkap dengan segala instrument hukum Jahiliyyah yang mereka restui. Disadari ataupun tidak, pada saat kekuasaan Islam tidak wujud, maka secara otomatis Ummat Islam terpaksa harus tunduk dan ikut andil di dalam mendukung dan menstabilkan kekuasaan Thaghut yang terang-terangan menolak Al Quran dan Hadist sebagai sumber hukum Negara. Jama’atum minal muslimin yang dalam aktivitasnya tidak Ijtanibut Thaghut (ingkar kepada Thaghut) dan hukum-hukumnya, sudah pasti mereka orang-orang munafiq. Dalam hal ini, Allah menegaskan dengan firman-Nya:

“Apabila dikatakan kepada merka:”Marilah kamu tunduk kepada hukum Allah yang telah diturunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari mendekati kamu”. ( QS.4:60 )

Kemudian dalam ayat yang lain Allah Swt, berfirman:

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat untuk menyerukan,”Sembahlah Allah saja dan jauhilah Thaghut”, maka diantara ummat itu ada yang diberi petunjuk dan ada pula di antaranya yang telah pasti kesesatan baginya”. (QS.16:36 )

Bahaya terbesar yang akan terjadi manakala kaum muslimin mengakui kepemimpinan orang-orang kafir ( orang yang menolak hukum Allah secara kaffah ) atas diri mereka. Telah diinformasikan oleh Allah melalui Al Quran Surat An-Nisa ayat 139:

“Khabarkan kepada orang-orang munafiq bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan disisi orang kafir itu? Sesungguhnya tiada paling mengerikan melebihi adzab Allah Swt”.
 

Site Info

Followers

Tidak Ada Dien Yang Diridhai Allah Selain Islam Copyright © 2010 HN-newby L-F is Designed by ri-cka
In Collaboration with smooTBuuz