Selasa, 27 Januari 2009

FUNDAMENTALISME DAN ISLAM KAFFAH

Dalam perkembangan benturan pemikiran belakangan ini, agama sering dituduh sebagai biang keladi konflik yang mengorbankan harta dan jiwa manusia. Pemikiran ini sengaja disebarkan terutama kepada umat Islam untuk meragukan mereka terhadap agamanya. Di antara buku yang menjajakan pemikiran ini adalah Is Religion Killing Us? Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan Al-Qur'an karya Jack Nelson-Pallmayer. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa pembenaran kekerasan atas nama agama atau menggunakan legitimasi agama sebenarnya bukan disebabkan karena manusia salah memahami teks atau problem misinterpretasi. Kekerasan itu memang terletak dalam teks-teks kitab suci yang menjadi ajaran baku setiap agama.[1]

Yang lebih menarik untuk kita cermati dari buku ini adalah kata pengantar yang ditulis oleh Dr. Hamim Ilyas dengan judul Akar Fundamentalisme Dalam Perspektif Al-Qur'an. Menurut dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, ”Fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi, sehingga yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin teologis, tapi juga doktrin-doktrin ideologis. Doktrin-doktrin itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam Faraj, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi.”[2]

Dengan nada sinis, Hamim menulis, ”Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.”[3]

Lebih lanjut, ia mengemukakan, ”Karakteristik fundamentalisme yang telah mengakar membawa konskuensi logis munculnya doktrin-doktrin yang justru mengekang, menyiksa diri dan membatasi ruang gerak, bukannya membebaskan. Doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Karena itu dalam konteks dunia modern sangat ditekankan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara, sehingga Hasan al-Banna mendifinisikan Islam sebagai agama dan negara (ad-din wa ad-daulah)."[4]

Meski sempat mengutip QS Al-Baqarah: 208,“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.”, Hamim Ilyas menganggap konsep Islam kaffah seperti di atas adalah salah dan sering menjadi landasan kaum fundamentalis dalam membenarkan tindak kekerasan selama ini.[5]

Oleh karena itu, kata Hamim, "Demi mencegah terjadinya hal tersebut maka dalam menafsirkan Islam kaffah haruslah memperhatikan munasabah dan asbabun nuzul secara jernih dan akurat. Dalam ayat-ayat Al-Quran dibicarakan beberapa kategori orang dilihat dari segi keseimbangan hidupnya. Sebagian menginginkan dunia dan yang lain menginginkan dunia dan akhirat. Mereka yang menginginkan dunia terjerumus ke dalam materialisme hedonisme, sehingga merusak ladang (lingkungan hidup) dan keturunan (seks bebas). Sementara yang menginginkan dunia dan akhirat, sulit mewujudkan keseimbangan dan terjerumus ke dalam spiritualisme sehingga melupakan dunia. Jadi inti ayat-ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menjaga keseimbangan hidup itu.

Kemudian ayat itu turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang secara sosial sedang mengalami transisi dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan, dan secara budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi. Di kalangan mereka belum terjadi keseimbangan, sehingga sebagian mereka sangat spiritualistik yang mengabaikan dunia dan sebagian yang lain sangat materialistik yang anti-agama. Jadi ayat itu diturunkan untuk membawa keseimbangan baru mewujukan masyarakat yang sekaligus berperadaban materi dan spiritual.

Dengan begitu akan dapat dipahami bahwa disamping sebagai sistem kepercayaan dan peribadatan, Islam juga merupakan sistem peradaban yang memadukan materi dan spiritualitas, bukan sistem atau ideologi sosial. Dengan pemahaman ini maka sistem sosial yang dianut masyarakat bisa berubah, tapi sistem kebudayaannya tetap, yakni sistem kebudayaan yang imbang dunia dan akhirat."[6]

Demikianlah pemaparan Hamim Ilyas tentang penafsiran konsep Islam kaffah yang benar. Kesimpulannya menurut Hamim, makna Islam kaffah sebagaimana tersebut dalam surat Al-Baqarah: 208 adalah adanya keseimbangan dalam hidup ini, yaitu kesimbangan antara materi dan spiritual, serta tidak berarti bahwa Islam adalah sistem atau ideologi sosial.


Problem Istilah Fundamentalisme
Menyematkan istilah fundamentalisme pada Islam sebenarnya tidak tepat. Sepanjang perjalanan sejarah umat Islam selama berabad-abad, istilah ini tidak pernah dikenal dan digunakan oleh mereka. Istilah fundamentalisme lahir di Barat dengan latar belakang pengalaman dan permasalahan keagamaan mereka. Fundamentalisme populer digunakan untuk menggambarkan ketaatan yang sempurna terhadap doktrin Kristen yang berlandaskan pada penafsiran literal Bibel. Istilah ini mulai digunakan sejak akhir abad XIX dan awal abad XX oleh gerakan Kristen Protestan tertentu yang menentang penyesuaian doktrin Kristen terhadap teori dan filosofi ilmu pengetahuan modern.[7] Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Bibel dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks mana pun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbul-simbul sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Bibel.[8]

Berbeda dengan Bibel yang ditulis berdasarkan inspirasi wahyu, Al-Quran merupakan kitab yang tanzîl (diturunkan) kepada Nabi Muhammad dan ditulis setiap kali turun ayat, lalu dihimpun dalam satu mushaf pada masa kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan dihimpun ulang pada masa kekhilafahan Utsman bin 'Affan. Dengan cara ini, wahyu Al-Quran tetap otentik dan terjaga sepanjang masa. Meyakini keotentikan Al-Quran tanpa ada kesalahan merupakan prinsip aqidah yang dianut kaum Muslimin secara turun temurun; bukan keyakinan kaum fundamentalis sebagaimana anggapan Dr. Hamim Ilyas.

Demikian juga, kecenderungan penafsiran secara literal yang disematkan pada kaum "fundamentalis Islam" adalah pernyataan yang tidak benar. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul hadits, kaum zhahiriyah maupun kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majaz (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir terjadi ijma' bahwa nash-nash yang tidak bisa ditakwilkan, yang dalam istilah ahli ushul fikih disebut "nash" adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu: ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh madzhab-madzhab Islam.[9]



Konsep Islam Kaffah Menurut Para Ulama
Para ulama berselisih pendapat mengenai terhadap siapakah QS Al-Baqarah: 208 ini diturunkan. Pendapat pertama, ayat ini diturunkan terhadap orang yang masuk Islam dari kalangan Ahli Kitab. Setelah keislamannya, mereka menjauhi daging unta dan perkara-perkara lain yang biasa dijauhi Ahli Kitab. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas.[10] Pendapat kedua, ayat ini diturunkan terhadap Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam. Mereka diperintahkan agar masuk ke dalam Islam. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahak. Pendapat ketiga, ayat ini diturunkan terhadap kaum Muslimin. Allah memerintahkan mereka agar masuk ke dalam seluruh syariat Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid dan Qatadah.[11]

Untuk menjelaskan bagaimana penafsiran para ulama kita terhadap konsep Islam kaffah, berikut akan dinukilkan pendapat-pendapat mereka dari beberapa kitab tafsir. Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sekelompok tabi'in tentang firman Allah ta'ala, "masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan", maksudnya adalah masuklah ke dalam Islam dan taatilah seluruh perintah-Nya semampu yang kalian kerjakan.[12] Sementara itu, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa orang-orang beriman diperintahkan agar masuk ke dalam ketaatan secara keseluruhan, sedangkan mereka tidak akan masuk ke dalam ketaatan tanpa mengerjakan ketaatan lainnya. Atau ke dalam cabang dan syariat Islam secara keseluruhan dan tidak meninggalkan sedikit pun darinya.[13] Penafsiran QS Al-Baqarah: 208 sebagai perintah agar masuk ke dalam syariat Islam secara keseluruhan merupakan penafsiran yang banyak dikemukakan para mufassir. Selain Az-Zamakhsyari, ada sekian mufassir yang menyampaikan pendapat serupa dalam kitab-kitab tafsir mereka. Di antaranya dalam tafsir Al-Baghawy, Al-Alûsi, Zâdul Masîr, Ar-Râzy, As-Samarqandy, Al-Jalâlain, Muqatil, Ibnu 'Ajibah, Ibnu Abdis Salam, tafsir Ibnu Abbas, Sayyid Tanthawy, Aysarut Tafâsîr, As-Sa'dy, Al-Wajîz, Haumad, Al-Masîr, dan sebagainya.[14]

Dengan melihat banyaknya pendapat mufassir yang menyatakan bahwa konsep Islam kaffah adalah menjalankan atau masuk ke dalam syariat Islam secara keseluruhan, maka pendapat yang memandang Islam sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial, bukanlah pendapat yang salah. Sebab, syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, termasuk urusan bernegara. Sepanjang sejarah umat Islam selama berabad-abad[15], syariat dan aqidah Islam diterapkan di bawah naungan negara.

Oleh karena itu sangat aneh apabila ada pihak yang menolak dijadikannya Islam sebagai dasar negara dan menuduhnya sebagai ciri khas doktrin fundamentalisme. Padahal, para pejuang Islam yang turut mengusir Belanda dan Jepang dari negeri ini melakukan perjuangannya bukan semata-mata agar para penjajah tersebut hengkang dari negeri ini, namun juga untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam di negeri ini. Setidaknya ada empat peristiwa besar dalam sejarah umat Islam Indonesia yang membuktikan hal itu. Pertama, terjadinya perdebatan sengit dalam BPUPKI antara wakil umat Islam melawan wakil kaum nasionalis sekuler tentang rumusan dasar negara setelah Indonesia nanti merdeka. Akhirnya pada 22 Juni 1945 dicapailah rumusan kompromi yang disebut "Piagam Jakarta" dengan memasukkan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam alinea empat.[16] Tragisnya, sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, tujuh kata penting dalam Piagam Jakarta itu dicoret oleh PPKI.[17] Kedua, dibentuknya Partai Masyumi dalam Kongres Umat Islam pada 7-8 Nopember 1945 M (bertepatan dengan 1-2 Dzulhijjah 1364 H) di gedung Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Menurut Anggaran Dasar tahun 1945, Masyumi bertujuan “menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan agama Islam” dan “melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan”.[18] Ketiga, proklamasi NII pada 7 Agustus 1949 akibat kekecewaan yang memuncak terhadap perjuangan RI yang cenderung bersikap lunak terhadap Belanda. Keempat, terjadinya debat di Majelis Konstituante pada 1956 hingga 1959 antara wakil umat Islam melawan wakil kaum nasionalis sekuler dan wakil umat Kristen untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di Indonesia. Keempat peristiwa ini membuktikan bahwa para pejuang Islam yang mengusir penjajah dari negeri ini meyakini bahwa urusan agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Apakah mereka juga kaum fundamentalis?

Seorang politikus Barat saja, Samuel P. Huntington, mengakui nilai penting negara bagi Islam. Ia menulis, "Absennya negara Islam yang berperan sebagai negara inti merupakan faktor utama yang menjadi sebab terjadinya konflik-konflik internal maupun eksternal di kalangan masyarakat Islam. Kesadaran tanpa keterikatan menjadi sumber kelemahan Islam serta memudahkan jalan bagi kemungkinan timbulnya ancaman dari peradaban lain. Adakah kondisi seperti ini akan terus berlanjut?"[19]

Memang, Islam menyeru umatnya agar seimbang dalam hidup mereka antara aspek spiritual dan aspek material. Akan tetapi, makna seperti ini bukan yang dikehendaki QS Al-Baqarah: 208 mengenai konsep Islam kaffah. Anggapan Dr. Hamim Ilyas yang menyatakan bahwa ayat ini turun dengan latar belakang masyarakat Arab yang sedang mengalami transisi dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan dan dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi, sehingga ayat ini diturunkan untuk membawa keseimbangan baru mewujudkan masyarakat yang sekaligus berperadaban materi dan spiritual, adalah tidak ada hubungannya dengan munasabah dan asbabun nuzul seperti yang ia anjurkan untuk memerhatikannya. Di antara asbabun nuzul ayat tersebut sebagaimana telah disinggung sebelumnya berkenaan dengan Abdullah bin Salam –seorang Yahudi yang baru masuk Islam– yang mengagungkan hari Sabtu, membenci daging unta, serta ingin menggunakan sebagian hukum Taurat dan mencampuradukkannya dengan Islam. Demikianlah konteks sebenarnya turunnya ayat tersebut. Jadi, turunnya ayat tentang Islam kaffah itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan transisi masyarakat Arab dari masyarakat kesukuan menjadi masyarakat perdagangan, dan juga dari budaya dari masyarakat berperadaban spiritual menuju peradaban materi, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Hamim Ilyas.

Kesimpulan
Istilah fundamentalisme tidak netral, tidak bebas nilai, dan sangat kental dengan pengaruh worldview Barat. Dalam praktek di lapangan, istilah ini mengandung konotasi negatif. Kaum fundamentalis Islam sering diidentikkan sebagai orang yang menjalankan Islam secara radikal, kaku, ekstrim, dan tanpa kompromi. Akan tetapi, standard yang digunakan untuk menilai kriteria dan karakteristik fundamentalis adalah menurut framework Barat. Akibatnya, ajaran-ajaran Islam yang bertentangan dengan keinginan dan kepentingan Barat dituduh sebagai doktrin fundamentalisme. Kasus salahpaham terhadap konsep "Islam kaffah" yang diusung oleh Dr. Hamim Ilyas sebagai orang yang sadar atau tidak telah terpengaruh oleh framework Barat menjadi salah satu contoh nyata bagi kita. Wallahu a'lam.



[1] Pallmayer, Jack Nelson. 2007. Is Religion Killing Us; Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan Qur'an. Yogyakarta: Pustaka Kahfi. Hlm. 10.

[2] Ilyas, Hamim. "Akar Fundamentalisme Dalam Perspektif Al-Qur'an" dalam Pallmayer, Jack Nelson. 2007. Is Religion Killing Us; Membongkar Akar Kekerasan dalam Bibel dan Qur'an. Yogyakarta: Pustaka Kahfi. Hlm. xvii

[3] Idem. Hlm. xviii.

[4] Idem. Hlm. xx.

[5] Idem. Hlm. xxiii.

[6] Idem. Hlm. xxiv-xxv.

[7] "Christian Fundamentalism Exposed" dalam http://www.sullivan-county.com/news/ Diakses pada 3 Maret 2008.

[8] Imarah, Muhammad. 1999. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Hlm. 10.

[9] Imarah. Op. cit. hal. 14.

[10] Ibnu 'Athiyyah menukil riwayat dari Ikrimah radhiyallâu 'anhu bahwa ayat ini turun mengenai Ahli Kitab, yaitu Abdullah bin Salam dan teman-temannya. Hal itu karena mereka mengagungkan hari Sabtu, membenci daging unta, serta ingin menggunakan sebagian dari hukum Taurat dan mencampuradukkannya dengan Islam. Lalu, turunlah ayat ini terhadap mereka. Silakan lihat Ibnu 'Athiyyah, Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib. 2001. Al-Muharrar Al-Wajîz Fî Tafsîr Al-Kitâb Al-Azîz. Beirut: Dâr Al-Kutub Al-'ilmiyyah. Jilid I. hlm. 282.

[11] Ibnul Jauzy, Abul Faraj. 1984. Zâd Al-Masîr fî 'Ilmi At-Tafsîr. Beirut: Al-Maktab Al-Islâmy. Juz 1 hlm. 224.

[12] Ar-Rifa'i, Muhammad Nasib. 1989. Taysîr Al-'Aliy Al-Qadîr li Ikhtishâr Tafsîr Ibnu Katsîr. Riyadh: Maktabah Al-Ma'arif. Jilid 1. Hlm. 169

[13] Az-Zamakhsyary, Abul Qasim Mahmud bin Umar. 1998 Al-Kasyaf 'An Haqâiq Ghawâmidh At-Tanzîl wa 'Uyûn Al-Aqâwîl. Riyadh: Maktabah Al-'Ubaikan. Jilid I hlm 418.

[14] Untuk memudahkan pengecekannya, silakan buka tafsir ayat ini dalam program software Maktabah Asy-Syamilah.

[15] Dan baru berakhir dengan runtuhnya Khilafah Turki 'Utsmaniyah pada 3 Maret 1924.

[16] Firdaus A.N.. 1999. Dosa-Dosa Politik Orde Lama Dan Orde Baru Yang Tidak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hlm. 70.

[17] Anshari, Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta; Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani Press. Hlm. 56.

[18] Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti. Hlm. 118
[19] Huntington, Samuel P. 2002. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam. Hlm 325.

source: www.gedublaks.multiply.com
Share This
Subscribe Here

1 komentar:

Anonim mengatakan...

waw bagus sekali buat nambah ilmu tentang Islam

 

Site Info

Followers

Tidak Ada Dien Yang Diridhai Allah Selain Islam Copyright © 2010 HN-newby L-F is Designed by ri-cka
In Collaboration with smooTBuuz