Selasa, 27 Januari 2009

MENEGAKKAN SYARI'AT ISLAM

Terjemah dari kitab Tahkim Asy-Syari’ah karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz



MUQADDIMAH



Segala puji bagi Allah; Rabb alam semesta. Saya bersaksi bahwa tidak ada Dzat yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata; tiada sekutu bagi-Nya. Dia lah sesembahan makhluk pertama dan terakhir, Tuhan seluruh manusia, Sang Raja Diraja, Yang Maha Tunggal lagi Tempat Bergantung. Dia tidak dilahirkan dan tidak melahirkan serta tidak ada seorang pun yang bisa menandingi-Nya. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepadanya. Dia telah menyampaikan risalah dan menunaikan amanah. Dia berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh. Dia tinggalkan umatnya dalam keadaan putih terang; malamnya seperti siang harinya. Tidak ada seorang pun yang menyimpang dari ajarannya melainkan pasti hancur. Amma ba’du.

Ini adalah tulisan sederhana sebagai keharusan nasihat tentang kewajiban berhukum kepada syari’at Allah dan peringatan dari berhukum kepada syari’at selain-Nya. Saya menulisnya karena melihat sebagian manusia pada zaman ini terjerumus ke dalam berhukum kepada selain syari’at Allah. Mereka berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya; baik kepada tukang ramal, dukun, pemimpin suku, para pembela hukum positif, dan semisalnya. Sebagian mereka melakukan hal itu karena bodoh terhadap hukum perbuatan itu dan sebagian lain sengaja menentang Allah dan Rasul-Nya.

Saya berharap nasihatku ini bisa menjadi petunjuk bagi mereka yang bodoh dan peringatan bagi mereka yang lalai sehingga menjadi sebab keistiqamahan hamba Allah dalam meniti jalan-Nya yang lurus. Allah ta’ala berfirman,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Berilah peringatan karena ia bermanfaat bagi orang-orang beriman.” (QS Adz-Dzariyat: 55)

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ

“Ingatlah tatkala Allah mengambil janji orang-orang yang diberikan kitab kepada mereka, ‘Hendaklah kalian menjelaskannya kepada manusia dan jangan menyembunyikannya.” (Ali Imran: 187)

Saya memohon kepada Allah agar memberikan bermanfaat melalui tulisan ini dan menunjukkan kaum Muslimin secara umum untuk senantiasa konsisten dengan syari’at-Nya, berhukum dengan Kitab-Nya, dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Wahai kaum Muslimin! Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Tuhanmu memerintahkan agar engkau tidak menyembah kecuali kepada-Nya dan berbuat baik kepada kedua orang tuamu.” (Al-Isra’: 23)

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah engkau sekutukan Dia dengan sesuatu apa pun serta berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu!” (An-Nisa’: 36)

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu bahwa ia berkata,

كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ قَالَ فَقَالَ يَا مُعَاذُ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

“Aku memboncengkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas unta. Beliau bertanya, ‘Wahai Mu’adz! Tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa pula hak hamba dari Allah?’ Aku jawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dan hak hamba dari Allah adalah Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun’.” Mu’adz berkata, “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, bolehkah aku memberi kabar gembira manusia (dengan hadits ini)?’ Rasulullah menjawab, ‘Jangan engkau beritahu mereka agar tidak menyandarkan diri’.” (HR Bukhary)

Para ulama rahimahumullah telah menafsirkan ibadah dengan pengertian yang saling berdekatan. Di antara pengertian yang paling komprehensif adalah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhoi Allah; baik yang lahiriah maupun batiniah.”

Pengertian ini menunjukkan bahwa ibadah menuntut ketundukan yang sempurna kepada Allah Ta’ala; baik dalam perintah, larangan, keyakinan, perkataan, maupun perbuatan. Demikian pula, hendaknya kehidupan seseorang tegak di atas syariat Allah. Ia menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah. Ia tunduk terhadap syariat Allah dalam semua tingkah laku dan perbuatannya. Ia lakukan itu dengan murni tanpa pengaruh hawa nafsunya. Dalam perkara ini, antara individu dan kelompok atau laki-laki dan wanita adalah sama. Bukan hamba Allah namanya jika seseorang tunduk kepada Rabbnya dalam sebagian aspek kehidupannya namun juga tunduk kepada makhluk dalam aspek lainnya. Pengertian ini dipertegas oleh firman Allah,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)

Demikian juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga keinginan (hawa nafsu)nya mau mengikuti risalah yang aku sampaikan.”

Tidak sah keimanan seorang hamba kecuali apabila ia beriman kepada Allah, ridho dengan hukumnya dalam sedikit maupun banyak, dan berhukum dengan syariat-Nya semata dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam jiwa, harta, maupun kehormatan. Jika tidak mau, berarti ia telah beribadah (menyembah) kepada selain Allah. Allah berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut’.” (An-Nahl: 36)

Barang siapa tunduk hanya kepada Allah, mentaati-Nya, dan berhukum dengan wahyu-Nya, maka ia adalah hamba Allah. Sebaliknya, barang siapa tunduk kepada selain Allah dan berhukum kepada selain syariat-Nya, sungguh ia telah beribadah dan tunduk kepada thoghut. Allah berfirman,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)

Beribadah hanya kepada Allah semata dan baro’ (berlepas diri) dari beribadah dan berhukum kepada thoghut termasuk konsekuensi syahadat “tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya serta Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Allah Subhanahu adalah Rabb dan sesembahan manusia. Dia lah yang menciptakan mereka. Dia pula yang berhak memerintah dan melarang mereka. Dia lah yang menghidupkan dan mematikan mereka serta memberi hukuman maupun pahala kepada mereka. Dia semata yang berhak untuk diibadahi; bukan selain-Nya. Allah berfirman,

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ

“Ketahuilah bahwa mencipta dan memerintah adalah hak-Nya.” (Al-A’raf: 54)

Sebagaimana halnya Allah semata Sang Pencipta, maka Dia pun yang berhak memerintah. Kita wajib mentaati perintah-Nya.

Allah menceritakan orang-orang Yahudi bahwa mereka menjadikan orang alim dan rahib mereka sebagai sesembahan selain Allah ketika mereka mentaati orang alim dan rahib itu dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah berfirman,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)

Diriwayatkan dari ‘Ady bin Hatim radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menyangka yang dimaksud dengan menyembah orang alim dan rahib itu adalah ketika menyembelih hewan korban, bernadzar, sujud, dan ruku’ untuk mereka saja maupun yang serupa. Pada saat baru saja masuk Islam, ‘Ady datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar beliau membaca ayat di atas. ‘Ady menyanggah, “Ya Rasulullah, kami tidak menyembah mereka.” Yang ia maksud adalah orang-orang Nasrani karena dahulunya ‘Ady adalah seorang Nasrani sebelum masuk Islam. Rasulullah bertanya, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah lalu kalian pun juga ikut-ikutan menghalalkannya?” ‘Ady menjawab, “Memang betul!” Rasulullah bersabda, “Itulah bentuk penyembahan (peribadatan) mereka.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzy)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa”, yaitu Tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu maka itulah yang haram, apa yang Dia halalkan maka itulah yang halal, apa yang Dia syariatkan diikuti, dan apa yang Dia tentukan hukumnya dilaksanakan.

لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” Maksudnya, Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari segala sekutu dan tandingan. Tidak ada yang berhak disembah selain Dia dan tidak ada Rabb selain Dia.



PASAL

Apabila diketahui bahwa berhukum kepada syariat Allah termasuk konsekuensi syahadat “Laa ilaaha illallaah, Muhammad ‘abduhu wa Rasuluh”, maka berhukum kepada thoghut, para tokoh, tukang ramal, dan yang sejenis mereka dapat melenyapkan keimanan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Perbuatan ini adalah kekufuran, kezhaliman, dan kefasikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (Al-Maidah: 45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47)

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa hukum selain syariat yang diturunkan Allah adalah hukum orang-orang jahiliyyah. Allah juga menjelaskan bahwa menolak hukum Allah Ta’ala adalah penyebab memperoleh siksa-Nya yang tidak akan dihindarkan dari kaum yang zhalim. Allah berfirman,

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ÿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 49-50)

Orang yang membaca dan mentadabburi ayat ini akan jelas baginya bahwa masalah berhukum dengan syariat yang Allah turunkan ditegaskan dengan delapan penegasan.

Pertama, perintah untuk berhukum dengan syariat Allah dalam firman-Nya,

( وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ) “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”

Kedua, janganlah hawa nafsu dan keinginan manusia merintanginya untuk berhukum dengan syariat Allah dalam kondisi apa pun. Ini berdasarkan firman Allah,

( وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ ) “janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”

Ketiga, peringatan dari sikap tidak mau berhukum dengan syariat Allah, baik dalam hal yang sedikit maupun banyak serta hal yang kecil maupun yang besar. Ini berdasarkan firman Allah, ( وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ) “Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”

Keempat, berpaling dan menolak sedikit pun dari hukum Allah adalah dosa besar yang pasti mendapat siksa pedih. Allah berfirman,

( فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ) “Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka”

Kelima, peringatan agar tidak terpedaya dengan banyaknya orang yang menolak hukum Allah karena hanya sedikit orang yang mau bersyukur dari hamba-hamba Allah. Allah berfirman, ( وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ) “Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”

Keenam, pensifatan hukum selain syariat yang diturunkan Allah sebagai hukum jahiliyyah. Allah berfirman, ( أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ ) “Apakah hukum jahiliyah”

Ketujuh, penetapan makna yang agung bahwa hukum Allah adalah hukum paling baik dan paling adil. Allah berfirman, ( وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا ) “(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah”

Kedelapan, konsekuensi dari keyakinan adalah ilmu (mengetahui) bahwa hukum Allah adalah hukum paling baik, paling sempurna, dan paling adil. Wajib bagi manusia untuk tunduk kepadanya disertai dengan keridhoan dan kepatuhan. Allah berfirman,

( وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ) “dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Pengertian-pengertian ini terdapat dalam banyak ayat Al-Qur’an dan juga ditunjukkan oleh sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beliau. Di antaranya adalah firman Allah,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa’: 65)

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al-A’raf: 3)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al-Ahzab: 36)

Diriwayatkan sebuah hadits dari Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga keinginan (hawa nafsu)nya mau mengikuti risalah yang aku sampaikan.”

Imam An-Nawawy mengatakan, “Hadits ini shahih, kami meriwayatkannya dalam kitab al-hujjah dengan isnad shahih.”

Beliau juga bersabda kepada ‘Ady bin Hatim, “Bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu kalian juga ikut-ikutan mengharamkannya?” ‘Ady menjawab, “Memang betul.” Rasulullah bersabda, “Itulah bentuk peribadatan mereka.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata kepada sebagian oarng yang mendebatnya dalam sebagian masalah, “Sungguh, hampir saja batu turun dari langit menimpa kalian. Aku katakan, ‘Rasulullah bersabda’, tapi kalian malah membantah dengan mengatakan, ‘Kata Abu Bakar dan Umar’.”

Maknanya, seorang hamba wajib tunduk dengan sempurna terhadap firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya serta mendahulukannya atas perkataan semua orang. Ini adalah perkara yang sudah diketahui dalam agama secara pasti.

Oleh karena itu, di antara konsekuensi rahmat dan hikmah-Nya adalah Ia menjadikan syariat dan wahyunya sebagai landasan hukum di antara hamba-hamba-Nya. Sebab, Allah Maha Suci dari segala kelemahan, hawa nafsu, dan kebodohan yang menimpa manusia. Allah Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Lembut. Ia mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya dan apa yang bermaslahat bagi mereka, baik pada saat ini maupun saat yang akan datang. Di antara kesempurnaan rahmat-Nya, Allah mengurusi keputusan di antara mereka ketika terjadi perselisihan dan dalam urusan-urusan hidup agar tercapai keadilan, kebaikan, dan kebahagiaan di antara mereka. Bahkan, tercapai juga kerelaan dan ketenangan jiwa.

Demikianlah. Tatkala seorang hamba mengetahui bahwa hukum yang diterapkan dalam perkara yang diperselisihkan adalah hukum Allah Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui, ia pun menerima, rela, dan mematuhinya. Hingga …, meskipun hukum tersebut menyelisihi hawa nafsu dan keinginannya. Berbeda halnya jika ia mengetahui bahwa hukum yang diterapkan berasal dari manusia seperti dirinya. Mereka memiliki syahwat dan hawa nafsu. Dalam kasus ini, orang tersebut tidak akan rela serta terus melanjutkan tuntutan dan gugatannya sehingga perselisihan pun tidak berhenti. Ketika Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berhukum dengan wahyu-Nya, hal itu sebagai bentuk rahmat-Nya dan kebaikan-Nya kepada mereka. Allah telah menjelaskan jalan umum ini dengan sangat gamblang dalam firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا ÿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)

Dalam ayat di atas terdapat nasihat umum, baik untuk orang yang menghukumi dan yang dihukumi atau untuk pemimpin dan rakyat. Dalam ayat di atas juga terdapat nasihat untuk para hakim dan penguasa tentang keadilan. Allah memerintahkan mereka agar menetapkan hukum dengan adil. Allah juga memerintahkan orang-orang beriman agar menerima hukum tersebut yang merupakan konsekuensi dari syariat-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan mengembalikan segala perkara kepada Allah dan Rasul-Nya di saat terjadi perselisihan.

Dari pembahasan yang sudah lalu, wahai saudaraku muslim, jelaslah bagi Anda bahwa menerapkan syariat Allah dan berhukum kepadanya termasuk di antara ketentuan yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Perkara ini termasuk konsekuensi dari peribadatan kepada Allah dan kesaksian terhadap risalah Nabi-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Siapa yang menentang syariat Allah atau sebagian darinya, maka ia wajib mendapatkan adzab Allah. Masalah ini sama saja, baik yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya atau dilakukan oleh kelompok kaum muslimiin di setiap tempat dan zaman, baik dalam perselisihan khusus atau umum. Begitu pula, baik antara satu negara dengan negara lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, atau antara individu muslim dengan muslim lainnya. Hukum dalam semua kasus itu sama. Allah lah yang memiliki hak untuk mencipta dan memerintah, dan Dia seadil-adilnya hakim.

Tidak ada keimanan bagi orang yang meyakini bahwa hukum dan pendapat manusia lebih baik daripada hukum Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada keimanan pula bagi orang yang meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya serupa dengan hukum manusia atau membolehkan untuk mengambil hukum positif dan aturan manusia meskipun ia meyakini bahwa hukum Allah lebih baik, lebih sempurna, dan lebih adil.

Wajib atas seluruh kaum muslimin secara umum, penguasa mereka, dan ahlul halli wal ‘aqdi[1] untuk bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menerapkan hukum syariat-Nya di negara-negara mereka dan dalam seluruh urusan hidup mereka serta memelihara diri mereka dan orang-orang yang menjadi tanggungan mereka dari adzab Allah di dunia dan di akhirat. Wajib pula atas mereka untuk mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di negeri-negeri yang menolak hukum Allah serta malah membeo bangsa Barat dan mengikuti jalan mereka. Di negeri-negeri tersebut sering terjadi perselisihan dan perpecahan, muncul berbagai bencana, sedikit kebaikan, dan saling membunuh. Kedaaan mereka tidak akan pernah baik dan hegemoni politik maupun intelektual musuh yang menguasai mereka tidak akan lenyap kecuali apabila mereka mau kembali kepada Allah dan meniti jalan-Nya yang lurus yang Ia ridhoi untuk hamba-hamba-Nya. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk meniti jalan tersebut dan menjanjikan surga An-Na’im bagi mereka. Maha Benar Allah ketika berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". (Thaha: 124-126)

Tidak ada kesempitan melebihi hukuman yang Allah berikan kepada orang yang mendurhakainya dan tidak melaksanakan perintah-Nya, lalu ia mengganti hukum Allah dengan hukum makhluk yang lemah. Alangkah bodohnya pendapat orang yang Al-Qur’an ada padanya –hendaknya dia menyampaikan kebenaran, menjelaskan perkara dan jalan keluarnya, dan memberikan petunjuk kepada orang yang sesat—, lalu ia mencampakkannya. Sebagai gantinya, ia mengambil pendapat tokoh-tokoh manusia atau peraturan suatu negara? Tidakkah mereka ini mengetahui bahwa mereka telah rugi dunia akhirat? Mereka tidak mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia. Di akhirat pun, mereka tidak selamat dari siksa Allah pada hari kiamat. Hal itu karena mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah kepada mereka dan meninggalkan apa yang diwajibkan Allah kepada mereka.

Saya memohon kepada Allah agar menjadikan kata-kataku ini sebagai peringatan dan penyadar bagi kaum muslimin untuk memikirkan kondisi mereka dan memperhatikan diri dan bangsa mereka sehingga kembali kepada petunjuk mereka dan konsisten dalam menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar mereka benar-benar menjadi umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula, agar nama baik mereka kembali terangkat di kalangan bangsa-bangsa di muka bumi sebagaimana terangkatnya nama baik salafush shalih dan generasi utama umat ini hingga mereka menguasai dunia ini dan manusia pun tunduk kepada mereka. Semua itu terwujud dengan pertolongan Allah yang menolong hamba-hamba-Nya yang beriman yang mau memenuhi panggilan-Nya dan Rasul-Nya. Oh…, andai saja mereka tahu. Dosa apakah yang telah mereka perbuat? Bencana apakah yang mereka timpakan kepada umat? Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ

“Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab.” (Az-Zukhruf: 44)

Disebutkan dalam sebuah hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang maknanya adalah, bahwa Al-Qur’an akan diangkat dari hapalan (benak) dan mushaf di akhir zaman ketika ditinggalkan oleh manusia. Mereka menolak untuk membaca dan menerapkan hukum-hukumnya. Hati-hatilah agar musibah ini tidak menimpa kaum muslimin atau menimpa generasi mereka yang akan datang karena perbuatan mereka. Innaa lillaahi wa innaa ilahi rooji’uun!

Nasihatku ini juga saya tujukan kepada kelompok-kelompok muslim yang hidup di tengah-tengah mereka. Yaitu mereka yang mengetahui dien dan syariat Allah, akan tetapi tetap berhukum kepada tokoh-tokoh mereka yang menerapkan adat dan budaya ketika terjadi perselisihan. Mereka memutuskan hukum dengan syair-syair dan sajak-sajak, persis seperti perbuatan orang-orang jahiliyah dahulu.

Saya berharap terhadap orang yang telah sampai kepadanya nasihatku ini agar bertaubat kepada Allah, berhenti melakukan perbuatan-perbuatan haram itu, meminta ampunan kepada Allah, dan menyesali kesalahan yang telah lalu. Demikian pula, hendaknya ia saling menasihati saudara-saudaranya yang ada di sekitarnya untuk membuang semua tradisi jahiliyah atau adat yang menyelisihi syariat Allah. Sesungguhnya taubat mampu menghapus dosa-dosa sebelumnya. Orang yang bertaubat dari suatu dosa seperti orang yang tidak melakukan dosa.

Kepada para penguasa dan pembantunya, hendaknya mereka giat mengingatkan dan menasihati umat manusia dengan kebenaran, menjelaskannya kepada mereka, dan mengangkat hakim-hakim yang shalih di antara mereka agar tercapai kebaikan dengan izin Allah. Hendaknya pula mereka menghentikan hamba-hamba Allah yang menentang-Nya dan berbuat maksiat kepada-Nya. Sungguh, alangkah butuhnya kaum muslimin pada hari ini terhadap rahmat Rabb mereka. Dengan rahmat tersebut, Allah akan mengubah kondisi mereka dan mengangkat mereka dari kehidupan yang hina menuju kehidupan yang mulia.

Saya memohon kepada Allah dengan perantara nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar Ia membuka hati kaum muslimin untuk memahami dan menerima firman-Nya, menerapkan syariat-Nya, menolak semua peraturan yang menyelisihi syariat-Nya, dan konsisten menjalankan hukum-Nya sebagai bentuk pengamalan firman-Nya,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Keputusan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)

Semoga shalawat dan salam Allah senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad serta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat.

[1] . Dewan penasihat dalam sebuah negara Islam yang bertugas memilih, mengangkat/menurunkan, dan membai’at khalifah.
Share This
Subscribe Here

0 komentar:

 

Site Info

Followers

Tidak Ada Dien Yang Diridhai Allah Selain Islam Copyright © 2010 HN-newby L-F is Designed by ri-cka
In Collaboration with smooTBuuz